Banyak yang salah kira: semakin saleh seseorang maka akan semakin kecil kemungkinannya terkena musibah. Begitu pula sebaliknya. Pangkal kekeliruan semacam ini bersumber pada kealpaan kita sendiri tentang hal yang sangat prinsipiil. Yakni hukum Tuhan. Bukan hukum Tuhan, dalam pengertian syariat. Tapi hukum Tuhan dalam arti hukum yang mengatur seluruh jagat raya dan umat manusia. Yakni sunnatullah.
Hukum Tuhan atau sunnatullah itu bersifat objective immutable. Dikatakan objektif, karena hukum ini tidak tergantung pada kita; tidak bisa kita pengaruhi. Contoh yang paling mudah adalah api. Api membakar tidak tergantung pada kita; siapa pun yang memasukkan tangannya ke dalam api pasti terbakar. Apakah dia orang saleh atau orang jahat, pasti terbakar. Tapi siapa pun yang mengerti apa itu api dan kemudian bisa memanfaatkannya, maka api itu akan berguna bagi kehidupan, tidak tergantung apakah orang itu saleh atau jahat, beriman atau kufur kepada Allah.
Oleh karena itu, biarpun kita Islam, jika tidak menjalankan sunnatullah, atau hukum objektif itu, pastilah hancur. Mengapa Allah berkali-kali menyeru agar kita menegakkan keadilan? Bukan semata karena adil itu lebih dekat kepada takwa, tapi dalam keadilan ini beroperasi pula sunnatullah, yang apabila kita tidak menjalankannya pasti akan membawa kepada kehancuran.
Dalam bahasa Arab keadilan itu disebut ‘adl yang artinya keadilan itu sendiri. Kemudian disebut pula qisth atau qisthun, di mana kosa kata ini berhubungan dengan bahasa-bahasa Eropa termasuk justice. Selain itu kita mengenal pula kata wasth yang kemudian menjadi wasit. Dalam bahasa kita, wasit itu orang yang berdiri di tengah alias tidak memihak. Lalu ada istilah mizan (seimbang). Dalam surat Ar-Rahman ayat 7, Allah berfirman: “Allah menciptakan langit itu tinggi dan kemudian ditetapkan hukum keseimbangan.” Dalam penafsiran kita di zaman modern, kalau bumi tidak menabrak matahari, matahari tidak menabrak bulan dan seterusnya, itu karena grativitasi. Jadi semuanya seimbang. Setelah berbicara dalam kerangka kosmologi, lalu Allah meneruskan firman-Nya (ayat 8 surat yang sama) dengan pesan-pesan moral: “Oleh karena itu wahai manusia kamu jangan melanggar hukum keseimbangan.”
Melanggar hukum keseimbangan berarti melanggar hukum kosmos. Kemudian pesan moral ini semakin diperjelas lagi dengan ayat selanjutnya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan jujur dan kamu jangan curang dalam timbangan.” Ini sangat jelas mengacu kepada timbangan-timbangan komersial di pasar. Alat yang sederhana untuk mengetahui gerak ini bekerja atas hukum gravitasi, dan gravitasi adalah hukum kosmos. Melanggar hukum ini berarti melanggar hukum kosmos. Oleh karena itu risikonya besar sekali. Maka tidak heran jika dalam Alquran banyak ditegaskan bahwa kehancuran suatu bangsa karena tidak adil. Jika orang mengatakan bahwa korupsi akan membawa kehancuran kepada bangsa, itu jelas karena praktek-praktek yang tidak terpuji ini melanggar prinsip keadilan.
Jadi, oleh karena hukum Tuhan itu tidak bergantung kepada kemauan kita, biarpun kita umpamanya rajin salat, puasa bahkan Senin-Kamis, setiap saat mengaji, tetapi kalau tidak adil, maka kita akan hancur. Sayidina Ali, r.a. mengatakan, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang lalim meskipun Islam.” Atau “Dunia ini bertahan dengan keadilan meskipun kafir dan tidak akan bertahan dengan kezaliman meskipun Islam.” Karena itu, kita tidak cukup dengan hanya mengaku Islam, mengaku beriman tapi keislaman dan keimanan kita itu harus dibuktikan dengan tindakan. Jika demikian, rasanya kita tidak akan lagi bersikap egoistis dan cenderung menagih janji kepada Tuhan, dengan mengatakan: “Tuhan saya sudah sembahyang, berdoa setiap saat, tapi kok hidup saya masih susah.” Padahal kita justru kerap mengabaikan hukum-hukum Tuhan yang sifatnya universal itu.