Umar ibn Khaththab menyebut nama-nama Ali, Utsman, Abdurrahman ibn Auf, Zubair, Thalhah, dan Sa’d, sebagai calon penerusnya. Juga anaknya sendiri, Abdullah, yang dikatakannya berhak memilih tapi tidak boleh dipilih. “Biarlah ini menjadi hadiah hiburan baginya,” kata Khalifah. Sebuah legacy tentang cara memilih pemimpin dari seorang khalifah yang mati secara tragis.
Sebagian umat cemas. Sebagian lagi bilang “gak apa-apa.” Maklum, kejadiannya begitu cepat. Ibarat menarik nafas, kita belum lagi mengembuskannya. Seseorang lalu membawakan nabidz, tapi minuman dari anggur itu langsung ngocor dari lubang di perutnya. Susu pun demikian. Maka, mafhumlah orang: ajalnya sedang menjelang.
“Berbahagialah,wahai Amirul Mukminin, dengan kabar gembira dari Allah,” berkata seorang pemuda, sebagai yang diriwayatkan Amr ibn Maimun. “Bapak sahabat Rasulullah, dan termasuk yang awal masuk Islam. Kemudian diserahi urusan kaum muslimin, dan Bapak laksanakan dengan adil, sampai kesyahidan menjemput Bapak.”
“Saya hanya berharap amal-amalku akan seimbang. Tidak menguntungkan, juga tidak merugikan,” Khalifah menimpali.
Pemuda itu pun pergi, sementara ujung kainnya menyapu tanah. Amirul Mukminin menyuruh anak itu agar kembali. “Wahai sepupuku,” katanya. “Angkatlah sedikit kainmu agar lebih awet, dan lebih menunjukkan ketakwaan.”
Umar ibn Khaththab roboh waktu subuh ketika baru memulai salat. Amr, informan kita tadi, yang berdiri di saf kedua, di belakang Abdullah ibn Abbas, bercerita bahwa Umar berteriak, “Awas anjing. Dia sudah membunuhku!” ketika Abu Lu’luah menusuknya. Orang itu membabi buta menikamkan belati bermata dua ke setiap orang yang dilewati. Ia baru berhenti setelah seseorang menjeratnya dengan jubah. Merasa terbekuk, pandai besi itu bunuh diri.
Umar memegang tangan Abdurrahman ibn Auf, memintanya menggantikan jadi imam. Orang-orang paling belakang belum menyadari apa yang terjadi, kecuali hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berseru: “Subhanallah, subhanallah!”
Pendek saja Ibn Auf memimpin salat (Umar biasa membaca surah Yusuf atau An-Nahl komplet pada rakaat pertama sambil menunggu jamaah berkumpul).
“Ibn Abbas, kamu lihat siapa yang membunuhku?” tanya Umar.“Budak Al-Mughirah ibn Syu’bah,” kata Ibn Abbas, setelah pergi sesaat.
“Biarlah Allah yang membalasnya,” ujar Khalifah. “Sebenarnya aku telah memerintahkan agar dia diperlakukan dengan baik. Alhamdulillah, Allah tidak menakdirkanku mati di tangan seorang muslim.” Budak itu, budak majusi.
Umar kemudian mengatakan bahwa Ibn Abbas dan ayahnyalah yang menghendaki banyak orang asing di Madinah. Ibn Abbas mengatakan siap bertindak jika Khalifah menginginkan.
“Bukankah mereka (kebanyakan orang asing) sudah berbicara dalam bahasa kamu, salat ke arah kiblat kamu, dan berhaji, yang juga kamu laksanakan?” Umar meneruskan.
Khalifah dibawa pulang. Orang ramai menjenguknya, termasuk si pemuda yang sempat diberi nasihat tadi. Umar menyuruh utang-utangnya dihitung. Total 86.000 dirham. Jika dananya tidak bisa menutupi, ia minta keluarganya menomboki. Kalau tidak cukup juga, bisa menagih kepada marganya. Ia juga mengutus putranya, Abdullah, menemui Aisyah minta izin dikubur di sisi kedua sahabatnya: Rasulullah dan Abu Bakr. Boleh, meskipun Aisyah sebenarnya juga menginginkan tempat itu.
Orang-orang mohon agar Umar menunjuk pengganti. Lalu ia menyebut nama-nama Ali, Utsman, Abdurrahman ibn Auf, Zubair, Thalhah, dan Sa’d, sebagai calon penerusnya. Juga anaknya sendiri, Abdullah, yang dikatakannya berhak memilih tapi tidak boleh dipilih. “Biarlah ini menjadi hadiah hiburan baginya,” kata Umar.
Ibn Abbas meriwayatkan, orang banyak berkumpul di sekitar jenazah Umar. ‘Tak seorang pun mengusik, sampai terasa seseorang memegang pundakku.” Dia menoleh, dan melihat Ali ibn Abi Thalib sedang berdoa. Kata Ali, “Tak seorang pun amalnya lebih kusukai dibanding amalmu. Aku yakin, Allah akan menempatkanmu bersama kedua sahabatmu. Aku sering mendengar Nabi berkata, “Aku pergi bersama Abu Bakr dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan Umar’.”
Adapun Abu Lu’luah, alias Firuz, yang asal Parsi itu, memang pernah complain kepada Umar, di pasar, perkara upahnya yang murah, walaupun ia budak. Hanya saja, menurut Khalifah yang zuhud itu, upah seperti itu sudah pantas.
“Aku dengar, kamu juga bisa bikin tepung yang ditumbuk Cuma dengan angin,” Khalifah melucu.
“Memang bisa,” kata Abu Lu’luah, seperti tak mau kalah.
“Kalau begitu, buatkan dong aku.”
“Akan saya buatkan yang paling bagus untuk Tuan, yang kelak menjadi tepung paling masyhur dari Masyrik sampai Magrib.”
Seperti diceritakan Miswar ibn Mukhrimah, setelah Abu Lu’luah pergi, Umar berkata, “Rupanya dia mengancam”.
Umar, betapapun, telah meninggalkan sebuah legacy yang amat berharga, khususnya bagi kaum Muslim tentang cara pemilihan pemimpin melalui sebuah dewan dari tokoh terkemuka, yang kelak disebut ahlul halli wal ‘aqdi itu. Dan tentu saja, bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang diwariskan sebagaimana dilakukan oleh para khalifah pasca Khulafaur Rasyidin. Praktik yang sekarang justru ingin ditancapkan sejumlah pemimpin di negeri kita, yang berlindung di bawah nama demokrasi. Mulai dari Jokowi sampai para adipati seantero Nusantara.