Fakta historis Indonesia adalah negara heterogen dengan ragam etnis, budaya, suku, dan agama. Dalam heterogenitas sosial seperti itu, setiap tindakan atau perilaku yang didasari oleh keinginan atau motivasi menguasai, mendominasi atau melakukan intervensi secara langsung maupun tidak, akan memiliki dampak serius dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu dampak seriusnya adalah terjadinya polarisasi sosial yang sering menimbulkan korban kemanusiaan.
Polarisasi sosial yang dilatari oleh konflik-konflik keagamaan, telah pernah berkali-kali terjadi dan telah banyak memakan korban. Apakah karena faktor internal dalam satu agama, atau terjadi konflik antar agama yang pada akhirnya justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
Ironisnya, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pilar utama penjaga marwah heterogenitas, justru menjadi kontributor terjadinya polarisasi sosial berlatar keagamaan. Dalam berbagai survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), terungkap bahwa sekolah (siswa) dan Perguruan Tinggi (mahasiswa) menjadi kontributor penting terbangunnya sikap intoleran yang justru dimulai dari pelajaran soal agama, dalam hal ini Pelajaran Agama Islam (PAI). Faktor guru, peserta belajar dan materi pelajaran yang mendapat pandangan berbeda, menjadi penyumbang terbangunnya sikap eksklusif, intoleran dan radikal. P
enelitian ini mengungkap, ada tiga faktor pendorong sikap intoleran, radikal dan cenderung eksklusif.
Pertama, guru dan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Siswa dan mahasiswa mengakui bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam berpengaruh besar terhadap mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain (48,9%). Mereka juga tidak setuju jika tujuan PAI adalah untuk bersikap toleran dan berbuat baik kepada pemeluk Ahmadiyah (13,18%) dan Syiah (14,47%). Siswa dan mahasiswa juga menyatakan bahwa materi PAI yang mereka terima lebih banyak menekankan pada aspek keimanan, ketakwaan dan ibadah (63,47%). Sementara materi yang memuat pelajaran tentang toleransi dan keberagaman hanya mendapat porsi yang sedikit dalam PAI.
Kedua, survei nasional menemukan bahwa akses internet adalah faktor penyumbang radikalisme dan intoleransi. Internet sekarang ini merupakan sumber pengetahuan agama yang utama bagi siswa dan mahasiswa (50,89%). Siswa dan mahasiswa yang mengakses internet untuk memperoleh pengetahuan agama cenderung intoleran dan radikal karena mereka mengakses website dan ustadz yang masuk dalam kategori radikal sebagai alternatif dalam memperoleh pengetahuan keagamaan (59,5%).
Faktor ketiga adalah persepsi tentang Islamisme dan kinerja pemerintah. Walaupun evaluasi mereka terhadap kinerja pemerintah dalam hal ekonomi dan penegakan hukum cenderung negatif, namun kepercayaan dan loyalitas mereka terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan demokrasi tetap tinggi; 80,74% mereka menolak pernyataan bahwa pemerintah Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah thaghut atau kafir. Anehnya, aspirasi mereka terhadap penerapan syariat Islam dan kekhalifahan sebagai sistem pemerintahan juga cukup tinggi (91,23%).
Situasi seperti ini tentu saja tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, yang pada akhirnya dapat mengancam semua sendi kehidupan sosial kebangsaan Indonesia, bahkan mengancam jati diri kemanusiaan. Harus ada langkah-langkah pembenahan serius terhadap sumber-sumber penyumbang terjadinya polarisasi sosial.
Faktor Pelajaran Agama
Survei PPIM menemukan, salah satu sumber penyumbang terbesar atas terbangunnya sikap intoleran dan radikal adalah pelajaran agama Islam, baik pada aspek materi, guru dan orientasi capaian belajar yang secara sistemik dapat disebut sebagai metodologi belajar PAI yang dipandu oleh kurikulum.
Cara pandang guru materi pelajaran PAI adalah pembentuk sikap paling berpengaruh terhadap sikap peserta belajar. Keyakinan dan cara pandang (paham keagamaan) seorang guru, menjadi faktor penting yang menentukan sikap peserta belajar yang melahirkan sikap intoleran dan radikal.
Kontribusi bahan belajar, materi tambahan dan juga bahan bacaan, ikut berkontribusi dalam pembentukan sikap peserta belajar yang cenderung radikal dan intoleran. Sekolah menjadi tempat subur berkembangnya sikap-sikap eksklusif, radikal dan intoleran yang bertentangan dengan nilai-nilai edukasi dan nilai-nilai agama.
Urgensi Pengarus-utamaan Moderasi Beragama
Mensikapi kondisi yang digambarkan diatas, menjadi penting untuk mengarus-utamakan cara pandang agama yang bersifat moderat (wasathiyah), yang lebih menekankan pada nilai-nilai substansi holistik spirit agama di kalangan siswa, utamanya pelajar SLTA. Mengacu pada rumusan Kementerian Agama (Ditjen Pendis, 2021), sembilan nilai moderasi atau wasathiyah, yaitu: 1. Tengah-tengah (tawassuth), 2. Tegak-lurus (i’tidal), 3. Toleransi (tasamuh), 4. Musyawarah (syura), 5. Reformasi (ishlah), 6. Kepeloporan (qudwah), 7. Kewargaan/Cinta Tanah Air (muwathanah), 8. Anti Kekerasan (al-la ’unf), dan 9. Ramah Budaya (i’tibar al-‘urf).
Nilai-nilai moderasi tersebut bersifat universal, karena secara substantif merupakan spirit dan kandungan ajaran semua agama. Dengan demikian, upaya pengenalan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moderasi tersebut menjadi penting untuk terus menerus dilakukan kepada semua kelompok dan lapisan masyarakat.
Pengenalan Nilai-Nilai Moderasi di Kalangan Pelajar
Pengenalan nilai-nilai moderasi di kalangan pelajar, khususnya tingkat SLTP dan SLTA dapat dilakukan melalui beragam platform media sosial. Saat ini, penggunaan dan pemanfaatan media sosial sudah menjadi bagian dari gaya hidup kaum milenial, yakni kalangan pelajar termasuk mahasiswa. Jika diamati, cukup tersedia konten literasi moderasi beragama yang sudah bisa diakses di media sosial. Namun jika dibandingkan dengan jumlah konten yang spiritnya dapat menggerus nilai-nilai moderasi, maka jumlah konten literasi moderasi beragama masih perlu ditingkatkan. Disinilah pentingnya upaya bersama untuk menggiatkan kampanye dan literasi moderasi beragama di ranah media sosial.
Pada aspek kualitas, konten kreatif dari tema moderasi beragama ini dipandang perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat memiliki banyak materi moderasi, bukan saja edukatif dan mencerahkan, namun juga menarik secara tontonan.***
Ketua Yayasan Pendidikan Al-Ihsan Indonesia, dan
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Kab Serang.