Perjalanan panjang di meja makan. Hidangan masakan dan buah-buahan di meja makan tersaji dengan beragam menu, yang silih berganti. Lebih-lebih di bulan ramadhan, jelang berbuka puasa telah tersedia aneka makanan lezat dan sempurna. Makanannya pun mengandung serat, protein, karbohidrat, mineral, dan garam, yang semuanya dibutuhkan oleh tubuh.
Melihat masakan lezat yang beragam pun, mata langsung merasa gede kepala dan yakin bahwa dirinya lebih besar dari perut. Mata pun melihat semua makanan di depannya menarik. Kayak- kayake mau disantap semuanya tanpa pertimbangan bermakna. Gorengan, lontong, minuman manis, es teh, dan beragam kue pun tak ketinggalan dilahabnya. Laksana hawa nafsu liar sedang berkecamuk minta jatahnya. Akhirnya, kekenyangan dan mager (malas gerak). Cara makan beginian telah menjadi gaya hidup. Berburu makan enak pun menjelajahi semua rumah makan terkenal.
Penyesalan pun akhirnya menyapa di kemudian hari setelah teridentifikasi eating disorder (gangguan makan) yang menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi makanan pun terus menurun. Dalam jangka panjang, organ tubuh akan terancam fungsinya, seperti jantung, ginjal, tulang sendi, dan sistem pencernaan. Akibatnya, jiwa akan terancam (life threatening) keselamatannya.
Pertanyaan, sadarkah kita dari mana dan bagaimana aneka masakan dan buah-buahan tersebut berasal hingga sampai di meja makan?
Allah menciptakan mahluk sepaket dengan rizkinya. Dalam penciptaan alam semesta, terdapat bumi sebagai hamparan (tanah), air, matahari dan udara dengan kandungannya masing-masing. Allah pun menciptakan awan bermendung yang mengandung air berlimpah dan menurunkannya ke bumi sebagai rahmat-Nya.
وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلْمُعْصِرَٰتِ مَآءً ثَجَّاجًا
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS An-Naba: 14)
Dengan air yang berlimpah Allah menumbuhkan biji-bijian untuk makanan manusia dan hewan. Tidak terlupakan, petani pergi ke sawah untuk mengolah tanah, menanam benih, dan memelihara tanamannya hingga musim panen tiba. Setelah melalui ekspedisi panjang dari sawah ke pengepul, pasar dan sampailah ke rumah dan warung-warung makan.
Pada makanan bernutrisi yang menyehatkan tubuh tersebut terdapat pembelajaran batin. Akal dan hati pun lantas bertafakur-tadabur atas asal usul dan proses perjalanan makanan sampai tercepak di meja makan. Hanya atas kuasa dan kasih sayang Allahlah, semua makanan tersaji di meja makan.
Menyadari bahwa makanan dan kesehatan adalah bentuk kasih sayang Allah, maka mukmin senantiasa bersandar pada aturan Allah, termasuk dalam mengasup makanan yang halal dan bersyukur atas rizki yang Allah berikan, serta tidak berlebih-lebihan, sebagaimana firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya” (QS Al-Baqarah: 172).
Pendek kata, bagi mukmin makanan dan buah-buahan dimaknai sebagai sumber nutrisi jasmani dan ruhani. Melalui tafakur dan internalisasi perintah shaum, motivasi beribadah secara utuh dan komprehensif (Tali Allah, persaudaraan, dan berbuat baik kepada alam) akan secara terus-menerus dan sadar ditingkatkan kualitasnya.
Mengasup makanan yang halal dan baik serta tidak berlebih-lebihan juga memerlukan ilmu. Sehingga kesehatan jasmani dan ruhani dapat dibangun dari meja makan. Berbagi dengan sesama dan menebar kebaikan menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas tafakur dan penyehatan hati. Allah pun telah mewanti-wanti soal pentingnya makanan, sebagaimana firman-Nya:
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓۙ
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS Abasa: 24)
Merawat diri melalui tata kelola asupan makanan yang bergizi dan baik adalah bentuk syukur nyata, yang didayagukan untuk meningkatkan kualitas ibadah secara terus-menerus. Kita pun juga perlu mewaspadai kenikmatan bahwa di dalamnya terdapat potensi murka dan lalai kepada Allah azza wajalla.
Omah Bejo Ciputat
Edisi III-21/2025