Tobat tidak hanya terbatas menyesali dan tidak mengulang suatu perbuatan dosa. Ia juga meliputi tobat dari kealpaan, dan tobat dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.
Seorang lak-laki datang kepada Ibrahim. “Hai Syekh, semoga Allah merahmatimu,” katanya. “Saya ini seorang pencuri.”
Mendekatlah, kau akan mendapatkannya. Dan sesudah mereka, berbuatlah sekehendakmu,” jawab Ibrahim.
“Mereka? Saya tidak paham mereka yang Syekh maksudkan.”
“Yang pertama, jika kamu mau melawa Tuhan, janganlah makan rezekinya.”
“Demi Tuhan, itu sangat sukar. Jika semua rezekinya di laut, di darat,di gunung, dari mana saya akan?”
“Elokkah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?”
“Tidak.”
“Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.”
“Demi Allah, itu lebih sukar dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaannya, di mana saya tinggal?”
“Elokkah makan rezekinya, tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya?”
“Tidak.”
“Yang ketiga, jika hendak melawa Allah, lawanlah di tempat Ia tidak melihatmu.”
“Demi Allah, ini yang tersulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu yang tidak terlihat dan yang tersimpan di dalam dada”
“Elokkah makan rezekinya, bertempat tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya? Sedang Ia melihat kamu?
“Tidak. Kalau begitu Syekh, beri saya yang keempat.”
“Jika datang Malaikat Maut mengambil ruhmu, kamu akan berkata, ‘Tundalah kematian saya sampai saya bertobat.’ Malaikat berkata, ‘Enak saja. Jika kamu tahu, mengapa tidak tobat dulu-dulu.’”
Laki-laki itu belum puas dan karena itu masih meminta opsi yang kelima.
“Baik,” kata Ibrahim. “Jika datang Mungkar dan Nakir, maka tolaklah.”
“Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah Syekh, opsi yang lain.”
“Jika kamu berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan Allah memerintahkan memasukkanmu ke neraka, berkatalah kepada Tuhan, ‘Jangan perintahkan mereka.’”
“Saya mohon ampun kepada Allah. Saya bertobat kepda-Nya.”
Syekh Yusuf al-Bantani al-Makassari mengutip kisah itu dari kitab Zaadatul Musafirin (Perbekalan Para Pengelana) dalam salah satu risalahnya, An-Nafhatus Sailaniah (Embusan dari Ceylon. Syekh Yusuf yang menantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten ini dibuang ke Srilangka alias Ceylon karena terlibat pemberontakan melawan Belanda bersama mertuanya. Setelah ditangkap dia dan keluarga serta sejumlah pengikutnya dibuang ke pulau di ujung selatan Benua Asia itu. Di tempat inilah ia mengarang kitab tadi, yang ia tulis untuk memenuhi keinginan para jamaah dan para sahabatnya. Mantan qadhi Kesultanan Banten asal Makasar ini telah menulis lebih dari 20 karangan terutama tentang tasawuf. Salah satunya yang dari Srilangka itu yang memuat antara lain keharusan mempersatukan syariat dan hakikat.
Di Srilangka, Syekh Yusuf rupanya masih memberikan pengaruh kepada para pengikutnya di Tanah Air. Karena itu, Belanda kemudian memindahkan pembuangannya ke tempat yang lebih jauh yaitu di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Di tempat ini pula Syekh Yusuf menetap sampai akhir hayatnya. Sampai sekarang kuburnya di salah satu daerah di Cape Town, masih ramai diziarahi orang. Dan yang tak kalah penting, Presiden Nelson Mandela menjadikan Syekh Yusuf sebagai inspirator bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan apharteid. Dia juga menyebut Syekh Yusuf merupakan salah satu putra terbaik Afrika Selatan. Tidak mengherankan jika dia dinobatkan sebagai pahlawan nasional di sana.
Bagaimana dengan tobat laki-laki yang dikisahkan kembali oleh Syekh Yusuf itu?
Menurut jumhur ulama, ada tiga syarat diterimanya tobat seseorang. Pertama, menyesali perbuatan yg telah dilanggar. Kedua, meninggalkan secara langsung penyelewengan tersebut. Ketiga, memutuskan untuk tidak kembali kepada tindakan yg sama. Sedangkan menurut Al-Junaid, selain menyesal dan meninggalkan kesalahan, tobat juga berarti membela orang-orang yg teraniaya.
Menurut Imam Qusyairi, cara tobat yg pertama ialah dengan memisahkan diri dari orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong, untuk mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf (takut) dan raja’ (harap). Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela yang membentuk simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali diri akan terjaga dalam dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa yg serupa di masa mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan tujuan, selaras dengan kehendaknya, ini berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman yang sebenarnya.
Tapi tobat tidak hanya terbatas menyesali dan tidak mengulang suatu perbuatan dosa. Ia juga meliputi tobat dari kealpaan, dan tobat dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.
Sumber: Abul Qasim Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdil Malik ibn Thalhah al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah al-Qusairiyah (1379 H/1959 M); Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (2005)