Dari perspektif Islam, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial maupun kecerdasan spiritual, hakikatnya bersumber dari kecerdasan kalbu, atau yang sehari-hari disebut hati atau hati nurani. Rasulullah Muhammad Saw. pernah menggambarkan bahwa kalbu merupakan sumber kekuatan, sumber kebajikan dan sumber keunggulan manusia. Sebagaimana sabdanya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya pada diri manusia terdapat suatu unsur yang disebut mudghah. Jika mudghah itu baik (unggul) maka unggullah seluruh diri manusia, dan jika mudghah ini buruk maka buruklah seluruh diri manusia. Ketahuilah bahwa itulah yang disebut dengan kalbu.” Dalam bahasa sehari-hari kalbu diartikan hati (heart).
Menurut filosof Franz Magnis-Suseno, kesadaran moral dalam bahasa sehari-hari juga disebut suara hati. Manusia berkesadaran moral sama dengan mempunyai suara hati. Mereka mempertimbangkan tindakan dengan hati. Atas bimbingan suara hati pula, keberanian akan seseorang kepada pilihan bernilai. Suara hati bagai panggilan suatu realitas personal yang berkuasa atas diri kita yang, jika kita ikuti, membuat kita merasa bernilai, aman, dan sedia untuk menyerah.
Pendidikan agama sejatinya bisa menjadikan anak didik cerdas secara spiritual. Namun, jika kita melihat kurikulum pendidikan agama, tampaknya lebih mengajarkan dasar-dasar agama, sedangkan akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum banyak dikedepankan. Metode pendidikannya pun lebih mengarah pada pendekatan kognitif. Yakni dengan hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran, tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu, tidak aneh jika banyak dijumpai inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Oleh karena itu peran orang tua dalam pendidikan agama untuk membentuk kepribadian atau akhlak anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga maka sebaik apa pun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter atau akhlak harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan unsur konatif dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Menumbuhkan SQ Peserta Didik
Mengacu pada pendapat para, ahli di atas, beberapa hal berikut ini bisa dilakukan untuk menumbuhkan kecerdasan spiritual peserta didik di sekolah. Pertama, melalui “jalan tugas”. Berikan ruang kepada siswa untuk melakukan kegiatannya sendiri dan latih mereka memecahkan masalahnya sendiri. Untuk itu guru tidak perlu terlalu khawatir peserta didik akan melakukan kesalahan. Dalam setiap kegiatan belajar mengajar, beri tahu manfaat mengapa mereka perlu mempelajari hal tersebut sehingga mereka memiliki ahli motivasi untuk memperdalam materi tersebut yang muncul dari dalam dirinya.
Kedua, melalui “jalan pengasuhan”. Pendidik perlu menciptakan suasana kelas penuh kegembiraan di mana setiap peserta didik saling menghargai, saling memaafkan jika terjadi konflik satu dengan yang lain. Setiap konflik atau masalah muncul, guru perlu menjadikannya momentum bagi seluruh peserta didik untuk bertumbuh dalam kecerdasan spiritual (SQ).
Ketiga, melalui “jalan pengetahuan”. Pendidik perlu mengembangkan pelajaran dan kurikulum sekolah yang mampu mengembangkan realisasi diri peserta didik. Misalnya, kurikulum yang bisa melatih kepekaan peserta didik terhadap berbagai masalah aktual, di mana mereka diajak berefleksi tentang makna, bagaimana dia dapat ikut serta memecahkan masalah- masalah aktual tersebut. Peristiwa-peristiwa bencana alam, banjir, dan tanah longsor di mana begitu banyak orang yang mengalami perubahan hidup secara tiba-tiba dan menjadi menderita. Di sini kepekaan terhadap nilai dan makna kemanusiaan dapat ditumbuhkan apabila peserta didik diajak untuk berefleksi, menyadari dan ikut merasakan bagaimana berada seperti orang lain.
Keempat, melalui “jalan perubahan pribadi” (kreativitas). Dalam setiap kegiatan belajar mengajar seharusnya guru merangsang kreativitas peserta didiknya. Anak-anak itu sebenarnya memiliki imajinasi dan daya cipta yang sangat tinggi. Kelima, melalui “jalan persaudaraan”. Hukuman fisik dan olok-olok, perkelahian dan saling mengejek antar murid perlu dihindari karena dapat menghambat SQ). Sebaliknya, guru perlu mendorong setiap peserta didik untuk saling menghargai dan saling memahami pendapat dan perasaan masing-masing.
Terakhir, melalui “jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian”. Gurulah yang menjadi model seorang pemimpin yang diamati peserta didik. Pengalaman peserta didik bagaimana dilayani dan dipahami sungguh- sungguh oleh guru mereka adalah pengalaman yang secara tidak langsung mengajarkan kepada peserta didik bagaimana layaknya perilaku seorang pemimpin: bahwa pemimpin yang efektif itu adalah yang mengerti dan memahami bawahannya, melayani kepentingan bawahannya dan bukan hanya mengurus kepentingan dirinya sendiri.
pembelajar, peminat pendidikan, lulusan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; pernah menjadi guru dan kepala SMPT Sindangkarya, Anyar; kini pengurus YPAI.