Para penguasa, kapan pun dan di mana pun, lebih suka dipuji ketimbang dikritik. Entah itu sultan, raja, atau presiden dan perdana menteri, Kritik kepada penguasa itu umumnya dilontarkan oleh kaum cerdik-pandai, termasuk ulama. Hanya saja, sudah menjadi kelaziman pula di kalangan penguasa untuk “merangkul” ulama berpengaruh agar mereka tidak mengeluarkan suara yang dapat menggoyahkan kekuasaannya. Jika masih ada yang berani cuap-cuap, tinggal diselidiki dan dikumpulkan ia punya kelemahan dan kesalahan, yang bisa berujung pada kriminalisasi.
Tapi kamus semacam itu rupanya tidak berlaku pada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Suatu masa penguasa Bani Abbasiah ini merasa gelisah dan sepi dalam hidupnya. Sebab sudah lama ia tidak mendengar fatwa ulama yang bermutu. Yang beredar luas hanya puji-pujian terhadap kebesaran khalifah. Maka diundanglah Ibnu Samak ke istananya di Baghdad. Udara sangat panas, dan Baginda minta dibawakan sepiala air minum untuknya, Ketika penguasa ke-5 Dinasti Abbasiah itu hendak melepas dahaganya, Ibnu Samak tiba-tiba bertanya. Karuan saja Khalifah Harun kaget, dan meletakkan kembali piala yang telah diangkatnya.
“Yang Mulia, beribu ampun, sekiranya air seteguk itu teramat sukar dicari, dan baru diperoleh dengan sangat susah payah, padahal Baginda sudah demikian haus, berapakah Baginda hargai?”
“Saya bersedia menjual separo kekayaan saya.”
“Nah… silakan minum, Paduka, air yang seteguk itu, yang harganya bisa mencapai 50 persen lebih dari seluruh kekayaan Paduka.
”Raja pun minum. Gluk. Gluk. Segaaar. Dan Ibnu Samak dipersilakan meneruskan petuahnya. Masih dengan pertanyaan rupanya: “Andaikan air yang seteguk tadi enggan dari “pelepasan” Baginda, sedangkan Baginda sudah begitu bersusah payah, tapi rupanya mampet, nah, berapakah kiranya yang akan Baginda bayar?”
“kalau air itu tidak mau keluar lagi, apalah artinya kemegahan dan kekayaan ini. Biar habis seluruh hartaku untuk berobat, asal dia keluar.”
“Daulat, Tuanku. Rupanya segelas air najis lebih mahal harganya ketimbang seluruh aset Harun Ar-Rasyid. Maka tidakkah Tuan akan insaf, bagaimana besarnya kekuasaan Allah dan Mahakayanya Dia di hadapan kita, makhluk yang lemah, tapi sok kuasa, sok kaya? Tidakkah juga kini saatnya kita tunduk kepada-Nya, dan menyadari kelemahan kita?”
Harun Ar-Rasyid, raja cemerlang, lambang puncak kebesaran Bani Abbas, pencinta ilmu yang besar, menangis tersedu-sedu. Begitulah riwayat dari Negeri Baghdad.
Adapun Ibnu Samak, mungkin bisa kita jadikan contoh pribadi yang berani, ulama yang punya karakter dan pendirian di hadapan penguasa yang, waktu itu, di semua bagian dunia, hampir tak mengenal batas kekuasaan. Beruntung ia tidak berhadapan dengan penguasa budek, dan antikritik.