Bagi para ahli ibadah, malam merupakan saat-saat yang bagus untuk menyaksikan keagungan dan kemuliaan Allah. Dan Allah pun memberi pujian kepada penggiat qiyamul lail atau sembahyang malam. “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; sedangkan pada dini hari memohon ampunan.” (Q.S. 51: 17-18).
Nabi pun bersabda, “Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala (Mahaberkat dan Mahatinggi) senantiasa turun di setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Barang siapa meminta kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Barangsiapa memohon ampunan-Ku, akan Aku ampuni’.” (Bukhari).
Dalam riwayat Al-Hasan Al-Bashri, Lukmanul Hakim berkata kepada putranya: “Anakku, kamu jangan lebih lemah dari seekor ayam jantan. Ia bisa berkokok menjelang subuh, sementara kamu masih mendengkur.”
Itulah mengapa tidak sedikit di antara para sahabat Nabi yang menghabiskan waktunya di malam hari, alias begadang, untuk beribadah kepada Allah, seperti sembahyang dan berzikir. Akibatnya, lantaran qiyamul lail itu pula sebagian dari sahabat tadi menjadi loyo.
Ada cerita dari Aisyah r.a. Suatu hari janda Rasulullah s.a.w. ini melihat beberapa pemuda lewat. Langkah mereka tampak lamban, dan goyah.
“Siapa mereka?” tanya Aisyah kepada kawan-kawannya.
“Ahli ibadah,” mereka menjawab.
“Ah, kalian kan tahu Umar ibn Khattab,” katanya. “Dia itu kalau berjalan, langkahnya cepat . Kalau bicara suaranya lantang. Kalau memukul, keras. Kalau makan, kenyang. Padahal dia sebenar-benar ahli ibadah.”
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan disukai Allah ‘azza wa jalla ketimbang mukmin yang lemah, walau pada kedua-duanya ada kebaikan.”
Lemah dalam hal apa? Boleh jadi secara fisik, sebagaimana diisyaratkan dari cerita Aisyah itu. Bisa lemah secara ekonomi (Tangan di atas lebih mulia ketimbang tangan di bawah, kata Nabi). Bisa juga lemah dalam hal iman, lantaran tidak tahan uji ketika menghadapi cobaan (ciri orang beriman adalah tidak takut, tidak gentar atau cemas ketika menghadapi keadaan apa pun karena ia yakin akan pertolongan Allah, laa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanun).
Jika seorang mukmin ingin kuat secara fisik, pertama kali tentu dia harus sehat. Dan untuk menjadi sehat, dia harus menjalankan pola hidup yang sehat. Istirahat cukup, makan yang bergizi (selain halalan, apa yang kita konsumsi harus thayyiban, baik alias bergizi), berolahraga secara teratur, dan menjaga kesehatan agar tidak mudah terserang penyakit, alias imun. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh kita. Di antaranya dengan cara imunisasi, yang dilakukan terutama pada anak-anak usia dini. Dan tentu saja yang kini gencar kita laksanakan, adalah vaksinasi Covid1-19 kepada berbagai lapisan masyarakat dan kelompok umur. Tujuannya tidak lain, agar kita menjadi orang dan bangsa yang sehat – dan kuat.
Saya ingin menyitir sebuah kaidah ushul fikih, yang juga kerap dikemukakan para ulama kita: “Maa laa yatimmul waajib illa bihi fuhawual waajib”, perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, maka hukumnya wajib). Memelihara jiwa dan menjaga keturunan, merupakan dua dari lima tujuan pelaksanaan syari’ah, selain melindungi agama, akal, dan harta. Dan imunisasi menjadi perkara yang wajib demi sempurnanya dua perkara yang wajib itu.