Oleh: Munawir
Buliran padi (yang berisi) di hamparan sawah pun tunduk menyadari bahwa dirinya bisa tumbuh secara bertahap karena kasih sayang Allah. Tanpa diminta pun Allah menyediakan media tanam (tanah), unsur hara, air, sinar matahari dan iklim yang pas kadarnya dengan kebutuhan tanaman untuk berkembang sehat.
Orang tawadlu pun juga akan matang jiwa raganya bila berada dalam miliu yang menyehatkan, memperoleh nutrisi seimbang, dan menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, ia akan memperoleh kebahagiaan hidup di keduanya. Tawadlu tercermin dari sikap rendah hati dan percaya diri (setelah berserah diri kepada Allah). Berjiwa sejuk dan sehat, serta senantiasa berikhtiar maksimal dalam memahami, menghayati dan mengamalkan aturan Allah dan sunah Rasulullah. Dus, seorang yang tawadlu akan tetap kekeuh dan kokoh pendiriannya dalam penaatan agama tanpa terombang-ambing oleh gelombang kehidupan yang cenderung mis-leading & mis-landing on the track dalam koridor Ilahi yang Maha Rahman dan Rahim. Sehingga ia akan terhindar dari sikap asosial dan merendahkan orang lain.
Menunduk cermin patuh dan taat kepada Allah atas kekuasaan dan kasih sayang-Nya. Demikian juga dengan orang tawadlu, yang mempunyai kesadaran tinggi sejak penciptaannya dalam arwah (QS. al-A’raf 172) hingga berkomitmen untuk terus mengabdi (beribadah) dengan sungguh-sungguh guna menggapai ridho Ilahi.
Tawadlu juga cermin akhlak mulia seorang muslim rendah hati yang memposisikan diri sebagai mahluk yang senantiasa bersandar pada Allah. Kesadarannya tinggi, jiwanya sehat, akalnya bernas dan hanya atas kuasa-Nya lah segala keberhasilan, kebahagiaan, dan kenyamanan hidup berasal. Laksana buliran padi — semakin berisi, semakin menunduk — sebagaimana orang yang berilmu (tauhid, sirr, syariat), rajin ibadah, dan beramal kebaikan, mereka pun patuh dan semakin menaati ajaran Islam dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Pada akhirnya, orang tawadlu berjiwa sehat termasuk hamba Allah Maha Pengasih, sebagaimana firman-Nya:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” (QS. Al-Furqan: 63)
Di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan hedonis dan materialistik yang memicu perlombaan pengumpulan harta dan kebahagiaan profan, orang-orang tawadlu tetap teguh pada keyakinannya bahwa tujuan hidup adalah menggapai ridho Ilahi dengan tetap berada dalam koridor sirothol mustaqiem. Sehingga Allah memberikan kepada mereka beragam anugerah dan kenikmatan, terhindar dari hal-hal yang tidak Allah sukai (maghdhub/murka Allah) dan perilaku yang menyesatkan.***