Salah satu peristiwa besar dalam perjalanan kehidupan Nabi Muhammad Saw., atau sirah nabawiyyah, adalah Isra dan Mikraj. Yakni perjalanan semalam Rasululah dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, yang kemudian dilanjutkan menuju Sidratil Muntaha untuk menghadap Allah Swt, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Isra’ ayat 1: ”Subhaanalladzi asraa bi ‘abdihi lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqsha ladzii baarakna haulahu linuriyyahuu min aayatina innahu huwas sami’ul bashiir.” Artinya: Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Peristiwa Isra Mikraj merupakan penanda diwajibkannya kaum Muslim melaksanakan salat lima waktu setiap hari. Seperti dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ketika Nabi Muhammad bertemu dengan Allah Swt., beliau diperintahkan untuk melaksanakan salat fardlu sebanyak 50 kali setiap hari. Nabi menerima dan kemudian kembali pulang. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s., yang mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad tidak akan mampu dengan perintah salat 50 kali sehari. Nabi Musa mengatakan, “Umatku telah membuktikannya.” Lalu ia meminta kepada Nabi Muhammad untuk kembali pada Allah SWT. “Mohonlah keringanan untuk umatmu,” kata Musa. Kemudian Nabi menghadap kepada Allah dan diringankan menjadi salat 10 kali. kemudian Nabi Muhammad kembali kepada Nabi Musa, dan Nabi Musa mengingatkan sebagiamana yang pertama. Kembali Nabi menghadap Allah hingga dua kali, dan akhirnya Allah mewajibkan salat lima waktu. Nabi Muhammad kembali pada Nabi Musa, Nabi Musa tetap mengatakan bahwa umatmu tidak akan kuat wahai Nabi Muhammad, Nabi Muhammad menjawab, “Saya malu untuk kembali menghadap pada Allah Swt. Saya rida dan pasrah kepada Allah Swt.”
Sebagai umat Nabi Muhammad, kita diwajibkan menjalankan salat lima waktu tepat pada waktunya. Musthafa As- Siba’i dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, menyatakan: jika Nabi melakukan isra’ dan mikraj dengan ruh dan jasadnya sebagai mukjizat, maka sebuah keharusan bagi tiap Muslim menghadap (mikraj) kepada Allah lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyuk’. Dengan salat yang khusyuk’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah, sehingga ia malu untuk menuruti syahwat dan hawa nafsu, malu untuk berkata kotor, malu untuk mencaci orang lain, malu untuk berbuat bohong, dan sebaliknya lebih senang dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Hal tersebut demi untuk mengagungkan keesaan Allah, kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini. Allah Swt berfirman: Innash salata tanha ‘anil fahsyaa’ wal-munkar. Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, salat yang kita menjadi tidak fungsional alias muspra belaka, jika tetap melakukan maksiat, dalam bentuk perbuatan keji dan mungkar tadi.
Perjalanan Isra dan Mikraj sendiri memiliki makna simbolik kepada kita dalam membangun hubungan dengan Tuhan atau hablum minallah yang bersifat vertikal dan hubungan antar manusia atau hablum minannaas yang bersifat horizontal. Perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha merupakan simbol dari aspek hablum minannass, sedangkan perjalanan ke Sidratul Muntaha merupakan simbol dari hablum minallah. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak hanya dituntut memiliki iman dan takwa, melainkan iman dan takwanya itu harus direalisasikan dalam amal saleh. Orang menyebutnya kesalehan individual dan kesalehan sosial. Orang Islam tidak hanya dituntut saleh ketika berada di dalam masjid, tetapi juga di luar masjid seperti di pasar, di kantor, dan di ruang-ruang sosial lainnya.
Beberapa Hikmah
Banyak hikmah lain yang dapat kita petik dari peristiwa monumental yang dialami oleh Nabi, yang hanya sekali semur hidupnya itu. Khatib hanya akan mengungkap tiga di antara yang banyak itu. Pertama, adalah sikap sabar dan lapang dada Nabi Muhammad, yang dicemooh dan diejek serta ditertawakan para pemuka Quraisy, seperti Abu Jahal, ketika beliau menceritakan pengalaman spiritualnya tersebut. Namun demikian, seorang sahabat beliau yaitu Abu Bakr langsung mempercayai apa yang diceritakan Nabi mengenai pengalamannya yang beradadi luar nalar tersebut. Oleh karena digelari Nabi As-Shiddikq, sang pemberi saksi kebenaran. Cemohan-cemohan yang diterima Nabi dan para pengikut setianya, yang waktu itu jumlahnya masih sedikit, tidak menyurutkan Nabi utuk menjalankan risalah yang diembannya. Mereka tidak gentar walaupun di hina dan dan diancam. La khaufun alaihim walaahum yahzanun. Tak ada ketakutan dan kesedihan pada mereka, demikian Allah berfirman. Dan itulah ciri-ciri orang yang beriman. Modal yang paling berharga bagi seorang Muslim yang ingin memerjuangkan dan menegakkan kebenaran.
Yang kedua, naiknya Nabi Saw. dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke puncak tertinggi jagat semesta, yaitu Sidratul Muntaha, dan kemudian berjumpa dengan Allah Swt, merupakan perjalanan spiritual yang memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”. Yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah Swt., agar terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri. Sebagai makhluk beragama atau homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran, misalnya, harus terus ditegakkan, untuk melawan segala bentuk penyelewengan.
Ketiga, perjumpaan langsung Nabi Muhammad Saw. dengan Allah Swt. merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh kenikmatan apapun. Tapi Nabi tak membiarkan dirinya terus berada dalam puncak spiritualitas itu. Sebab, setelah bertemu Tuhan, Rasulullah justru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Andaikan Nabi seorang egois, yang hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik). Nabi memang baru mewujudkan cita-cita kemasyarakatannya setahun kemudian setelah Isra Mikraj, yaitu di Madinah. Di Kota yang ditinggali berbagai macam suku dan agama inilah Nabi kemudian membangun masyarakat yang berkeadaban, yang kemudian diteruskan oleh para pengganti beliau yaitu al-khulafur rasyidun atau khalifah yang empat itu (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).