Dikisahkan, satu delegasi menghadap Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Di dalamnya terdapat seorang anak muda. Dia mencoba lebih dulu berbicara. Melihat gelagat si anak muda, Umar pun berkata:
“Tolong, yang tua-tua dulu ya.”
“Ya, Amirul Mukminin,” kata anak muda itu. “Jika pelimpahan urusan berdasarkan usia, maka banyak di antara kaum Muslimin yang lebih tua dari Bapak.”
“Kalau begitu, ayo bicaralah,” kata Umar.
“Kami bukan utusan untuk menyampaikan ketakutan atau tuntutan,” ujar si pemuda. “Keinginan kami sudah dipenuhi oleh kemurahan Bapak. Ketakutan kami pun sudah diamankan oleh keadilan Bapak.”
“Fa man antum, lalu kalian ini siapa?”
“Kami delegasi syukur. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih. Sekarang permisi.”
Setelah mengatakan itu mereka lalu menyenandungkan syair syukur. Isinya, syukur itu selayaknya diungkapkan atas apa yang sudah dilakukan orang lain, sementara menyembunyikan anugerah merupakan perbuatan pencuri.
Kisah itu diceritakan kembali oleh Syekh Abdul Qasim Al-Qusyairi (986-1073) dalam kitabnya Ar-Risatul Qusyairiyah-nya yang terkenal itu. Pada bab syukur itu, Imam Al-Qusyairi juga menyebut empat perbuatan yang tidak berbuah apa-apa. Yakni:
- Mempercayakan rahasia kepada orang bisu
- Memberi anugerah kepada orang yang tidak bersyukur
- Menebar benih di tanah Tandus
- Menyalakan lampu di bawah terik sinar matahari
Syukur sering dimaknai sebagai pujian karena adanya kebaikan yang seseorang berikan. Arti lainnya adalah penuh atau lebat. Maka, bisa kita pahami jika syukur selalu diperhubungkan dengan sikap qanaah (menerima dengan senang) dan ridha (rela) atas nikmat apa pun yang diberikan Allah SWT. Sedikit maupun banyak. Jadi, siapa pun yang merasa puas dan rida menerima nikmat Allah, maka dia akan merasakannya sebagai sebuah anugerah yang banyak, dan yang lebat. Dan jika demikian, Allah pun akan menambahkan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka yang bersyukur. Dan sebaliknya, kepada mereka yang mengingkarinya. Allah berfirman: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’ (Q. S. 14: 7).
Apakah kita termasuk orang yang pandai mensyukuri nikmat Allah? Atau orang yang selalu komplain kiri-kanan karena selalu diliputi perasaan tidak puas dan kecewa dalam menghadapi hidup?
Jika yang terakhir itu yang terjadi pada kita, maka dunia pun menjadi terasa sesak dan pengap.