Konon, di abad ke-21 ini, kita hidup dalam budaya yang “bodoh secara spiritual”. Sinyalemen itu berasal dari Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku mereka, SQ Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. Yang jadi rujukan mereka adalah masyarakat Barat, yang dicirikan dengan keegoisan, materialisme, ketidakhadiran moral, nilai-nilai dan rasa kekeluargaan, dan akhirnya, tak ada makna hidup.
Menurut Zohar dan Marshal, untuk mencapai kehidupan yang bermakna, yang mereka sebut kebutuhan dasar manusia,diperlukan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ). Ini adalah kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia. Jika kecerdasan pertama (IQ) merupakan ukuran kecerdasan rasional dan intelektual, dan kecerdasan kedua atau kecerdasan emosional (EQ) merupakan kapasitas untuk berempati dengan emosi orang lain dan bereaksi secara sesuai, maka kecerdasan yang ketiga yaitu SQ digunakan untuk menyeimbangkan makna nilai, dan menempatkan kehidupan kita dalam konteks yang lebih luas.
Danah Zohar menyatakan, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. Penggagas istilah teknis SQ (kecerdasan spiritual) ini mengatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’. Ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Karena itu, kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan pemberian makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Ada beberapa bukti ilmiah keberadaan SQ yang dikemukakan Zohar dan Marshall dalam buku mereka. Di antaranya penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran bersama timnya dari Universitas California, yang menemukan adanya God spot (“titik Tuhan”) dalam otak manusia. “Titik Tuhan” ini memang tidak membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi menunjukkan kecenderungan otak manusia yang berkembang ke arah pencarian agenda-agenda fundamental dalam hidup, seperti rasa memiliki, masalah makna dan nilai kehidupan.
Bukti lainnya dikutip dari penelitian neurolog Austria Wolf Singer pada tahun 1990-an tentang “problem ikatan” (the binding problem) yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang mengarah pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidupnya.
Paradigma SQ menawarkan suatu cara pandang yang lebih luas dan utuh (integral dan holistik) terhadap sosok manusia. Bila selama ini tingkat IQ begitu diperhatikan sehingga tak jarang dijadikan sebagai modal awal kesuksesan hidup, maka SQ menggeser itu semua dalam suatu definisi yang sama sekali baru. Zohar dan Marshall menjelaskan bahwa cara berpikir model IQ memang merupakan salah satu bagian dari tiga cara berpikir manusia (tiga ragam kecerdasan). Akan tetapi cara berpikir ini hanyalah cara berpikir seri yang lebih berkaitan dengan proses-proses rasional. Padahal, kehadiran EQ membuktikan bahwa proses-proses rasional itu pada dasarnya juga amat ditentukan oleh emosi (kecerdasan emosional).
Adapun SQ merupakan cara berpikir yang bersifat unitif (menyatukan) dengan kemampuan membingkai-ulang dan mengkontekstualisasikan pengalaman hidup. SQ berusaha mengundang manusia pada puncak ketinggian untuk melihat segala persoalan hidup dari perspektif keseluruhan yang lebih luas, lebih tinggi, dan lebih dalam. SQ menghidupkan semangat bahwa manusia tidak saja hidup dalam dunia, tetapi adalah bagian utuh dunia, sehingga setiap jengkal langkah manusia adalah bagian dari proses universal yang lebih besar. Pada titik inilah kesadaran-diri menjadi salah satu kriteria tertinggi dari Kecerdasan Spiritual.
Kesadaran-diri penting bagi tiap individu untuk mengembangkan dan merumuskan motif hidup bermakna, motif mencapai keutuhan, dan dalam menjalani proses perubahan yang tiada-henti. Kesadaran-diri juga penting untuk menggali dan menjelajahi potensi spiritual yang dimiliki setiap manusia sehingga akhirnya dapat mengantarkan pada definisi motivasi dan tujuan hidup yang utuh.
Upaya untuk melirik aspek spiritual dari sosok manusia ini menjadi penting ketika arah kebudayaan saat ini seperti tidak menyisakan ruang bagi manusia untuk berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatu dari perspektif spiritual yang cerdas. Pada satu sisi hal ini ditandai dengan kebudayaan materialistik dan konsumeristik yang semakin mendunia dan mengepung hidup keseharian manusia, dan pada sisi lain ditandai dengan cara pengungkapan spiritualitas yang tidak cerdas. Agama sebagai salah satu corong spiritualitas belakangan ini nyaris dikebiri hanya untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan, sehingga malah melahirkan kekerasan. Bersambung
pembelajar, peminat pendidikan, lulusan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; pernah menjadi guru dan kepala SMPT Sindangkarya, Anyar; kini pengurus YPAI.