Pada tahun-tahun pertama kenabiannya, Rasulullah Saw, sering menerima kunjungan para pemimpin kabilah atau suku. Antara lain, suatu kali, dari para pemuka Quraisy. Mereka adalah Utbah ibn Rabii’ah, Abu Jahal ibn Hisyam, Abbas ibn Abdil Muthalib, Umaiyah ibn Khalaf, dan Al-Walid ibn Al-Mughirah. Pada kesempatan itu, Nabi mengajak mereka masuk Islam. Dengan harapan para dedengkot Makkah itu akan diikuti kaum mereka jika masuk Islam.
Sebagian besar pemimpin Quraisy toh tidak bersedia masuk Islam. Bahkan berbalik memusuhi Nabi. Sampai-sampai beliau berhijrah ke Madinah.mereka baru bergabung di saat-saat terakhir, the last minutes, setelah Makkah ditaklukkan. Dan, dalam kenyataan, tidak ada pilihan lain – meskipun Nabi melarang menghakimi isi hati orang.
Sejak awal, para pemuka Mekah itu sudah mengkhawatirkan dakwah Nabi akan menggoyahkan status mereka yang mapan. Sementara, di sisi lain, Nabi berpikir bahwa bergabungnya mereka ke dalam Islam kan menyebabkan para pengikut tokoh-tokoh itu berduyun-duyun mengikuti jejak mereka. Tapi sunnah Allah menentukan lain. Dan sunnah Allah selalu mewujudkan dalam kenyataan.
Itu bukan ekslusif pengalaman Muhammad Saw. Seruan-seruan Rasul yang lain, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Isa – semoga salam tercurah bagi mereka – juga memperoleh tantangan hebat, dan itu kaum established alias kelompok mapan. Tidak mengherankan jika para pengikut pertama dan terutama dari para Nabi tak lain orang-orang yang lemah, orang tidak terkenal, mereka yang gembel, dan budak-budak.
Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas?
Jika dakwah yang kita lakukan dimaksudkan untuk melakukan perubahan di masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, maka jangan terlalu berharap perubahan itu dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mapan, yang selama ini menikmati atau diuntungkan oleh sistem yang berlaku, yang sejatinya tidak berpihak. Dakwah akan lebih efektif jika langsung digerakkan atau bergerak bersama kelompok-kelompok masyarakat yang berada di lapisan akar rumput itu. Dalam perpolitikan di Tanah Air mereka kerap disebut wong cilik. Sayang, mereka baru sebatas dijadikan simbol perjuangan oleh kalangan elite.