“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya..” (Al-Mu’minun: 1-2)
Harus diakui, ketika sedang melaksanakan salat hati dan pikiran kita terkadang, bahkan sering, melayang ke mana-mana, ke hal-hal selain urusan salat. Hal ini karena menjelang takbiratul ihram, pikiran kita sudah disibukkan dengan hasrat, cita-cita dan urusan keduniawian, sementara hati kita pun dipenuhi hal-hal yang melupakan kesadaran bahwa kita sedang akan menghadapkan wajah, memasrahkan hidup dan mati kita kepada Sang Mahapencipta alam semesta.
Tidak syak lagi, suasana hati dan pikiran semacam itulah yang membuat salat kita menjadi tidak khusyuk. Padahal, sebagaimana diisyaratkan ayat di atas, khusyuk merupakan ruh dari salat, yang jika hal itu dicapai, maka beruntunglah mukminin yang mengerjakannya. Memang hati dan pikiran yang menerawang itu tidak sendirinya membatalkan salat. Apa makna khusyuk dalam salat, sesungguhnya?
Khusyuk adalah menghadirkan hati sepenuhnya di dalam salat. Kita merasa bahwa Allah sedang mengawasi kita. Sejak mulai dengan membaca takbir (Allahu Akbar), kita sudah merasakan akan keagungan-Nya. Ketika kita sedang membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, kita perhatikan dan kita resapi makna-makna ayat-ayat itu. Kita juga renungkan dzikir-dzikir yang kita ucapkan, seperti makna takbir, makna tasbih, makna ucapan “sami’allahu liman hamidah” dan doa-doa di antara dua sujud, dan seterusnya. Makna dzikir dan ayat-ayat yang kita baca itu dihadirkan dan direnungkan di dalam hati. Dengan begitu kita merasa sedang berada di hadapan Allah, atau menghadap Allah.
Itulah yang disebut khusyuk hati di dalam salat, sebab khusyuk juga tercermin dalam gerakan. Jika dalam salat kita banyak melakukan gerakan tertentu, seakan kita tidak sedang melakukan salat, seperti menggaruk-garuk badan, melihat jam tangan, menengok ke kanan atau ke kiri, membetulkan sorban atau ikat kepalnya, dan sebagainya. Nah, gerakan-gerakan semacam itu, bukan saja tidak membuat salat menjadi khusyuk, tapi justru bisa bikin batal. Perilaku semacam itu dianggap main-main, tidak menggambarkan seorang muslim yang sedang menghadap Tuhan, dengan hati dan pikirannya, serta tidak menghormati salat dan merasakan nilainya. Jika kita melakukan gerakan sedikit seperti menggaruk, memang bisa menyebabkan salat menjadi tidak khusyuk, meskipun hal itu tidak membatalkan.
Syahdan, seorang ulama salaf, Hatim Al-Asham, pernah ditanya bagaimana cara dia menunaikan salat. Hatim pun menjawab: “Saya bertakbir dengan merenungkan hakikatnya, saya membaca ayat Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan tartil, saya ruku’ dengan khusyuk, saya sujud dengan merasa rendah, saya merasa surga ada disebelah kanan saya dan neraka di kiri saya, titian berada dibawah kaki saya, Ka’bah berada di kedua kening saya, Malaikat Maut berada di atas kepala saya, dosa-dosa saya sedang meliputi saya, pandangan Allah sedang mengarah kepada saya, saya anggap salat saya ini sebagai salat yang terakhir dalam hidup saya, dan saya sertai dengan keikhlasan semampu saya, kemudian saya megucapkan salam. Saya tidak tahu apakah Allah menerima salat saya ataukah Dia justru berkata, ‘Lemparkanlah salat itu ke wajah orang yang melakukannya itu!’
Tidak mudah untuk melaksanakan salat secara khusyuk, memang. Oleh karena itu, sebagai langkah awal, kita harus melakukan salat di tempat yang mudah menimbulkan suasana kekhusyukan, di mana kita bisa merenungkan makna ayat-ayat dan lafal-lafal yang kita ucapkannya, serta mengkonsentrasikan pikiran kita seoptimal mungkin hanya kepada salat.
Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah, bahwa salat kita akan menjadi fungsional atau bermakna jika ibadah yang kita laksanakan itu mampu mencegah kita dari perbuatan kotor dan keji. “Innash-salata tanha ‘anil fakhsyaa’i wal-munkar.”