Mahasucilah Dia yang membuat hamba-Nya berjalan malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha, yang telah kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kami. Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q. 17:1).
Isra adalah peristiwa perjalanan Nabi SAW dari Mekah ke Baitul Maqdis, atau Al-Quds, alias Yerusalem. Dari sini kemudian Nabi melesat ke Sidratul Muntaha. Banyak kisah yang kita dengar dan kita baca di seputar peristiwa yang terjadi pada 27 Rajab di tahun ke-11 sejak Nabi menerima wahyu yang pertama.
Pelajaran atau hikmah apa yang dapat dari peristiwa yang dulu menggegerkan antero penduduk Mekah ini? Nabi sendiri mendapat cemooh dari orang-orang Quraisy yang sengaja dikumpulkan oleh Abu Jahal untuk mendengarkan peristiwa yang dialaminya itu. Sampai sekarang pun kaum muslimin masih berdebat apakah perjalanan yang hanya sekali terjadi itu melibatkan raga atau hanya ruh saja. Dan inilah beberapa catatan yang bisa kita jadikan renungan ketika kita memperingati Isra Mikraj.
Sampai menjelang hijrah (622), Islam yang dibawa Nabi masih merupakan sebuah “gejala lokal”. Lokal yang besar sih. Ya, karena Mekah yang menjadi tempat agama ini disebarkan, betapapun merupakan wakil dari satu wilayah kebudayaan yang luas. Namun lantaran letaknya yang relatif jauh dari peradaban, kota ini terlindung dari pandangan dunia. Nah, dengan peristiwa Isra’, agama Muhammad SAW yang “asing” ini mendatangi rumah besarnya yang sebenarnya. Yakni Kemah Ibrahim, yang di dalamnya sudah lebih dulu berdiam agama-agama Yahudi dan Nasrani. Sampai kemudian lahir Rasul terakhir pilihan Allah dari cabang keturunan Ibrahim yang terlupakan, yang, setelah dengan segala rintangan dan tangis membangun versi terakhir dari Agama yang Satu yang dahulu diajarkan bapak moyangnya itu, sekarang kembali ke rumah induknya, ke tanah yang “sudah Kami berkati sekelilingnya,” kata ayat di atas, untuk menjumpai semua saudaranya.
Dalam Al-Qur’an memang disebutkan bahwa baitullah (rumah Allah) yang pertama kali terdapat di bumi adalah Ka’bah. “Adapun bait yang pertama diletakkan buat manusia adalah yang di Bakkah itu, yang mubarak dan menjadi petunjuk seluruh alam.” (Q. 3:96). Bakkah tak lain adalah nama kuno Mekah. Ibrahim sendiri yang membangun bait itu, bersama putranya, Ismail. Yakni meninggikan fondasi bangunan (Q. 2:127) dari reruntuhan bangunan lama. Menurut sebagian hadis, itu merupakan warisan Adam sendiri. Jika kita berkunjung ke Ka’ah, di sana kita akan berjumpa dengan yang disebut “Maqam Ibrahim”.
Tetapi bukankah Ibrahim tidak tinggal di Mekah? Beliau pulang kembali ke negerinya di Kaldea, di utara, setiap usai mengunjungi Ismail a.s. Sementara itu keturunan putra Ibrahim yang lain, Ishak a.s., menyebar di Timur Tengah Utara dan melahirkan banyak sekali raja dan nabi—hal yang sama sekali tidak terjadi dengan keturunan Ismail. Inilah yang kita kenal dengan wilayah Bulan Sabit yng subur alias Oukumene. Adapun Mekah dan sekitarnya, selama lebih dari 10 abad, praktis tenggelam. Tak ada seorang nabi dibangkitkan. Tak ada peradaban apa pun kecuali syair-syair dan kehidupan keras padang pasir. Seperti dikatakan Syed Naquib Alatas, bahasa Arab pada masa Jahiliyah bukan bahasa estetik keagamaan sebagaimana bahasa Yunan-Romawi Kuno.
Itulah Mekah, sebuah wilayah yang secara kerohanian terpisah dari induknya. Ya, Kemah Ibrahim. Sampai kemudian datang Rasul terakhir pilihan Allah dari cabang keturunan Ibrahim yang terlupakan itu. Dialah yang sekarang kembali ke rumah induknya, ke tanah yang “sudah Kami berkati sekelilingnya”, seperti dikatakan Alquran, untuk menjumpai semua saudaranya. Dalam kisah disebutkan dalam perjalanan itu Muhammad bertemu dengan para nabi pendahulunya. Nabi pun salat berjamaah dengan mereka, yang tentu saja semua sudah wafat, di Masjid Aqsa. Dan beliaulah yang dimohon bertindak sebagai imam.
Jadi, Isra’ adalah perjalanan menggabungkan diri dengan induk. Dari segi jaran yang dibawa para nabi, Islam adalah agama yang satu.
Setelah itu Nabi melesat ke Sidratul Muntaha, yang oleh sebagian ulama disebut sebagai sebuah pengalaman spiritual yang paling tinggi, karena Nabi berkesempatan berjumpa dengan Allah. Tapi Nabi kembali lagi ke bumi dari puncak pengalamannya yang tak terpermanai itu. Ya kembali mewujudkan pesan-pesan kenabian yang dibawanya.
Sejarah kemudian mencatat Islam yang sampai menjelang hijrah itu hanya sebuah “gejala lokal”, lemmudian berkembang ke utara ke kawasan bulan sabit yang subur, yang menjadi tempat diturunkannya nabi-nabi dan raja-raja keturunan Ibrahim dari jurusan lain. Dan praktis setelah itu ke pelbagai penjuru dunia. Termasuk Nusantara yang kita cintai ini.