Bagaimana pesimisme agar berubah menjadi optimisme, kekhawatiran menjelma menjadi harapan, dan kebencian digantikan oleh cinta.
Kontak batin dengan Tuhan yang dihayati dalam pengalaman religius merupakan ruh yang menjadikan agama bukan sekadar seperangkat kepercayaan dan seremoni ritual. Jika aspek kedalaman atau spiritualitas itu absen, maka agama ibarat badan tanpa nyawa karena sudah kehilangan ruhnya. Karena itulah hubungan langsung antara manusia dan Tuhan sering pula disebut nafas dan nyawa agama. Sebab dalam pengalaman keagamaan atau religius itulah Tuhan bukan sekadar ide – tapi hadir.
Kita ketahui, segala hal ihwal yang berkenaan dengan pengalaman keagamaan atau sering juga disebut pengalaman mistik itu, dalam tradisi disiplin keagamaan Islam disebut Tasawuf atau Sufisme. Oleh karena itu tasawuf atau sufisme sering pula disebut sebagai aspek esoteris atau kedalaman dari Islam.
Ajaran tasawuf yang amat sangat menekankan pada kesalehan individual kerap melahirkan sikap asyik dalam kesendirian untuk menumpahkan kerinduan kepada Al-Khalik sebagai Sang Kekasih (bisa kita baca dalam ungkapan-ungkapan personal yang sangat indah dari mistikus besar Rabi’ah Al-Adawiah). Sejatinya sikap yang cenderung soliter itu tidak harus terjadi, jika cinta kepada Ilahi juga dimanifestasikan dalam cinta terhadap ciptaan-Nya, ya manusia dan jagat raya ini. Bukankah kehidupan dan alam semesta ini merupakan anugerah yang Dia berikan karena dan dalam cinta? Karena itu hidup kita harus diisi dengan cinta kepada Ilahi yang merupakan sumber hidup dan kehidupan, cinta kepada segala yang hidup dan cinta kepada alam yang merupakan wahana aktualisasi hidup dan sarana kehidupan. Oleh karena itu sufisme harus diaktualisasikan dalam sikap positif terhadap hidup dan terhadap dunia itu sendiri. Dengan demikian, kesalehan individual tidak boleh lepas dan terpisah dari kesalehan sosial dan kesalehan environmental. Jika kita memahami dan menghayati sufisme seperti ini, maka akan lahir élan dan vitalisme sehingga kesalehan menjelma menjadi kemuslihan (pembawa maslahat).
Betapapun, cinta harus dibuktikan dengan pengorbanan terhadap yang dicintai. Jika sudah demikian, maka pengorbanan tidak akan dirasakan sebagai beban, tapi justru akan memberi kepuasaan batin. Jika kehidupan bersumber dari Yang Maha Hidup, sudah seharusnyalah upaya meningkatkan kualitas kehidupan sesama makhluk hidup menjadi bukti kecintaan kepada-Nya. Jika alam semesta merupakan anugerah Sang Maha Wujud, maka usaha memelihara dan melestarikannya adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Jika hidup dan alam yang berasal dari Sang Maha Pemberi dianugerahkan untuk semuanya, maka usaha menghilangkan pikiran dan sikap sempit, sekat-sekat yang memisahkan manusia dengan manusia lainnya, adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Alhasil, seluruh upaya untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini mempunyai dimensi spiritualitas sebagai perwujudan cinta kepada Ilahi, yang mengintegrasikan seluruh kegiatan hidup manusia tanpa terfragmentasi antara apa yang disebut sakral dan profan.
Semangat cinta itu harus terus dikobarkan dalam kehidupan umat manusia, terlebih sekarang ketika dunia berada di kubang konflik dan kepentingan, ketika kelestarian alam dicemari oleh kerakusan manusia yang mengeksploitasi demi kepentingannya sendiri. Basmalah yang setiap saat kita baca itu, yang di dalamnya menonjolkan sifat rahmaniah dan rahimiah (pengasih dan penyayang), seharusnya ditangkap sebagai isyarat agar aktualisasi hubungan manusia dengan sesamanya dan alam lingkungannya dilandasi dan diwarnai semangat cinta.
Kita berharap, ketegangan hidup yang ditandai konflik dan permusuhan, kegersangan hidup yang diakibatkan sikap materialistik dan hedonistik, dan kesuraman hidup yang dibayang-bayangi polusi, perubahan iklim, dan kelangkaan sumber-sumber alam, akan sedikit dikurangi dengan menempuh jalan sufisme, sehingga pesimisme akan berubah optimisme, kekhawatiran menjelma menjadi harapan, dan kebencian digantikan oleh cinta.