Jika peta Indonesia dihamparkan di atas peta Eropa, dengan meletakkan Sabang di atas Kota London, maka ujung timur Indonesia akan melintasi Iran dan Uzbekistan. Tak diragukan lagi, Indonesia yang berpenduduk 267 juta jiwa adalah salah satu negara besar di dunia. Negeri ini juga memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan dan jasad renik yang tinggi, dengan daerah endemis sangat banyak. Keanekaragaman hayati ini merupakan sumber daya alam yang tersedia untuk kemudian bisa dimanfaatkan sebagai barang dan jasa, mulai dari pangan, energi, dan bahan produksi, hingga sumber daya genetik bahan dasar pemuliaan tanaman komoditas serta obat.
Sayangnya, negeri yang dikaruniai Tuhan dengan kekayaan alam melimpah ini, masih jauh dari predikat negara maju. Setidaknya bila hal tersebut dilihat dari ukuran human development index (HDI), yakni usia harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat partisipasi pendidikan, dan pendapatan per kapita. Menurut laporan UNDP, HDI Indonesia jauh di bawah beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Rendahnya pencapaian HDI Indonesia dalam catatan-catatan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kuat bahwa mutu pendidikan di negeri kepulauan ini masih rendah dan amat mengkhawatirkan. Padahal, siapa pun mengakui, bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa. Karena itu pula, bidang pendidikan haruslah diisi oleh anak-anak bangsa terbaik sehingga menghasilkan generasi yang terbaik pula. Apalagi sekarang kita tengah menghadapi berbagai perubahan baik di lingkup nasional, regional maupun global. Mulai dari demokratisasi dan desentralisasi sampai globalisasi dan pasar bebas. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari pengakuan sebagai bangsa yang besar ini jika tingkat rata-rata pendidikan penduduknya masih rendah, untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Tingkat kecerdasan suatu bangsa, memang sangat menentukan daya saing suatu bangsa, tapi jika ditanyakan “dengan apakah sebuah bangsa bisa tumbuh menjadi bangsa yang cerdas”? Seluruh jawaban tentu mengarah pada satu kata: “Pendidikan”.
Kualitas Guru
Boleh dikata, tidak ada yang membantah bahwa pendidikan merupakan pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa. Dengan lain perkataan, jika kondisi dunia pendidikan suatu bangsa terjatuh sampai pada titik nadir, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Di tengah berbagai persoalan yang kompleks dan alam situasi gelombang perubahan dunia yang tak menentu, maka tidak mungkin pendidikan di negeri kita digerakkan secara “biasa-biasa saja” atau “berjalan seadanya”. Pertanyaannya, siapakah aktor utama yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan? Jawabannya tiada lain adalah guru. Sebab merekalah yang bersentuhan secara langsung dengan peserta didik. Jadi, guru adalah pemegang kunci utama dalam pendidikan.
Sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional, guru sering dianggap pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tinggi-rendahnya mutu pendidikan, meskipun pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pihak pemerintah. Di dalam pendidikan persekolahan, kualitas guru memang sangat menentukan mutu kelulusan atau tamatan peserta didik.
Menurut seorang pakar pendidikan, Athiyah Al-Abrasyi, syarat untuk menjadi guru yang berkualitas adalah (1) guru harus selalu mengetahui karakter murid; (2) guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun cara mengajarkannya; (3) guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berbuat berlawnan dengan ilmu yang diajarkannya.
Makhluk paling Mulia
Pada umumnya orang memandang bahwa guru merupakan pekerjaan atau profesi yang terhormat. Bahkan Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa posisi dan profesi guru sebagai paling utama dan mulia. Dia menyatakan, “Makhluk di muka bumi yang paling utama adalah manusia, bagian paling utama manusia adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, membersihkan, dan mengarahkan dirinya agar dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Karena itu mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan pemenuhan tugas sebagai khalifah Alah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan paling utama.” Pengarang kitab terkenal Ihya’ Ulumiddin itu bahkan mengingatkan, bahwa hak guru atas anak didiknya lebih besar daripada hak orangtua terhadap anaknya. Kata dia, “Orangtua (hanya) penyebab wujud kekinian dan kehidupan yang fana, sedangkan guru, penentu kehidupan yang abadi.”
Tugas pendidik tidak hanya sekadar mengantar peserta didik memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga membimbing mereka agar memiliki akhlak yang mulia, dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk mengetahui tingkat kemampuan dan perkembangan peserta didik, membangkitkan minat belajar, menggali dan mengarahkan potensi peserta didik, menciptakan proses belajar-mengajar yang kondusif, menjalin komunikasi yang harmonis baik dengan peserta didik, orangtua, maupun dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, guru tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu yang luas, tetapi juga beriman, berakhlak mulia, dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan profesinya.
Sikap dan tingkah laku seorang guru juga harus mencerminkan nilai-nilai dari yang diajarkannya, sehingga menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Seorang guru yang tidak memiliki kepribadian pendidik, tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Proses belajar-mengajar akan terlaksana dengan baik jika seorang guru memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan/keibuan, ikhlas dan tidak pamrih, jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku, memahami batas kemampuan intelektual dan perkembangan emosional peserta didik, serta memegang teguh prinsip dan menjaga kedisiplinan. Namun demikian, seperti diingatkan Buya Hamka, guru dilarang untuk membangun sikap peserta didik mengultuskannya (guru). Sebab sikap demikian menurut ulama dan sekaligus pujangga itu akan menumbuhkan sikap fanatisme dan kejumudan pada diri anak. Wallahu a’lam.***