Pakar psikolog dani dan ahli pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat (w. 2013) mengartikan guru sebagai pendidik profesional karena secara implisit dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh orangtua. Menurut beliau beberapa syarat yang harus dipenuhi menjadi guru adalah: (1) takwa kepada Allah. Memberi teladan; (2) berilmu. Ijazah bukan semata secarik kertas tapi bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan; (3) sehat jasmani; (4) berkelakuan baik: mencintai jabatannya sebagai guru; bersikap adil terhadap murid; berlaku sabar dan tenang; berwibawa; guru harus gembira; bersifat manusiawi; bekerja sama dengan guru-guru lain; bekerja sama dengan masyarakat.
Para sarjana Muslim, khususnya pakar pendidikan Islam, sepakat bahwa guru merupakan pekerjaan atau profesi yang terhormat. Termasuk Imam Al-Ghazali yang memandang posisi dan profesi guru sebagai paling utama dan mulia. Dia menyatakan, “Makhluk di muka bumi yang paling utama adalah manusia, bagian paling utama manusia adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, membersihkan, dan mengarahkan dirinya agar dekat dengan Alla Azza wa Jalla. Karena itu mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan pemenuhan tugas sebagai khalifah Alah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan paling utama.” Dia bahkan mengingatkan, bahwa hak guru atas anak didiknya lebih besar daripada hak orangtua terhadap anaknya. “Orangtua (hanya) penyebab wujud kekinian dan kehidupan yang fana, sedangkan guru, penentu kehidupan yang abadi.”
Tugas pendidik tidak hanya sekadar mengantar peserta didik memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga membimbing mereka agar memiliki akhlak yang mulia, dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk mengetahui tingkat kemampuan dan perkembangan peserta didik, membangkitkan minat belajar, menggali dan mengarahkan potensi peserta didik, menciptakan proses belajar-mengajar yang kondusif, menjalin komunikasi yang harmonis baik dengan peserta didik, orangtua, maupun dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf (1979), seorang guru dalam pandangan Islam tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu yang luas. Lebih dari itu, dia harus merupakan seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan profesinya sebagai bagian amanat yang diberikan Allah kepadanya dan mesti dilakukan secara baik. Oleh karena itu pula, guru menurut Ali Ashraf (1989) harus melatih dan mengembangkan keahliannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan menjadikan Islam sebagai roh ilmu yang diperoleh. Dengan demikian, maka ide-ide atau konsep-konsep tentang pendidikan yang dia pelajari akan selalu diilhami dan diwarnai oleh iman dan Islam yang sejati. Sebagai seorang guru, sikap dan tingkah lakunya juga harus mencerminkan nilai-nilai dari yang diajarkannya, sehingga menjadi teladan bagi anak-anak didiknya, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Seorang guru yang tidak memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik, menurut Ali Ashraf, maka dia tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Keadaan ini akan mengakibatkan peserta didik kurang tanggap terhadap apa yang akan diajarkan. Sepeti diungkapkan Fathiyah Hasan Sulaiman (1986), proses belajar-mengajar akan terlaksana dengan baik jika seorang guru memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan/keibuan, ikhlas dan tidak pamrih, jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku, memahami batas kemampuan intelektual dan perkembangan emosional peserta didik, serta memegang teguh prinsip dan menjaga kedisiplinan.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi (1979), yang menyatakan bahwa untuk menciptakan suasana pendidikan yang baik, seorang guru harus memiliki sifat qana’ah, tawadhu’, bersih dan suci lahir batin, ikhlas, penyantun, kebapakan, mengetahui perkembangan emosi dan intelektual peserta didik, serta menguasai materi yang akan diajarkannya. Alhasil, seperti ditegaskan kembali oleh Dr. Samsul Nizar, “Pendidik hendaknya menyadari bahwa mengajar merupakan tugas yang mulia, berlaku adil, memberikan kesempatan yang cukup bagi pertumbuhan potensi jasmani dan rohani, menanamkan kebiasaan dengan akhlak mulia, memberikan penghargaan dan hukuman secara proporsional dan bernilai edukatif, proses perubahan hendaknya dilakukan secara berangsur-angsur, serta jangan biarkan peserta didik meninggalkan majelis pendidikan sebelum mereka benar-benar paham terhadap materi yang diajarkan.” Namun demikian, mengutip pendapat Buya Hamka, Nizar mengingatkan bahwa guru dilarang untuk membangun sikap peserta didik mengultuskannya (guru). Sebab sikap demikian menurut ulama dan sekaligus pujangga itu akan menumbuhkan sikap fanatisme dan kejumudan pada diri anak.
pembelajar, peminat pendidikan, lulusan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; pernah menjadi guru dan kepala SMPT Sindangkarya, Anyar; kini pengurus YPAI.