Sebuah jalan lempang, diapit di kiri-kanan oleh dinding tinggi, punya beberapa pintu tanpa daun, hanya bertutupkan tirai. Di ujung jalan, seseorang memanggil-manggil: “Hai manusia, masuklah kalian ke sini, dan tetap berada di lajur ini. Jangan berpencar.” Sementara suara lain selalu berseru, “Jangan dibuka. Celaka. Kalau kamu buka akan terperosok,” katanya tentang pintu-pintu di dinding itu.
Seorang Muslim dituntut untuk membentangkan garis lurus antar dirinya dan Allah, yang kelurusannya itu dijamin dan diterangi hati nurani. Nurani berarti cahaya yang menerangi jalan kita itu. Dinamika, progresivitas, terus berbuat baik dan lebih baik, itulah yang dituntut dari seorang Muslim. Seperti kata Nabi, “Orang Islam itu adalah yang hari ininya lebih baik dari hari kemarin, dan yang hari esoknya lebih baik dari hari ini.”
Begitulah Rasulullah SAW melukiskan jalan lurus atawa siratal mustakim (ash-shirathul mustaqim), sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nawwas ibn Sam’an. Berkata beliau: Jalan lurus tadi adalah Islam. Kedua dinding yang berseberangan itu batas-batas yang diberikan oleh Allah. Adapun pintu-pintu itu segala yang diharamkan oleh-Nya. Sedangkan yang selalu memanggil-manggil tak lain adalah Kitab Allah, dan yang berkata “Jangan, celaka” adalah pemberi nasihat (wa’izh) yang ada dalam diri setiap orang.
Begitulah, sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari, seorang muslim memohon ditunjuki jalan yang lurus itu dalam salatnya. Yakni jalan orang-orang yang telah dianugerahi Allah karunia-karunia yang bersifat duniawi, akhlaki (moral), dan terutama rohani (spiritual). Orang-orang ini adalah para nabi, para shiddiqin (mereka yang jujur dalam keyakinan, kata-kata dan perbuatan), para syuhada (saksi-saksi kebenaran agama Allah, terutama yang terbunuh karena itu), dan para shalihin yang memelihara diri dari dosa secara istiqamah alias konsisten). [Lihat Q. 4:09].
Keempat golongan itulah pemimpin spiritual kita, dari zaman ke zaman. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai kedekatan tertentu (qurbah) dengan Allah, dengan potensi dikaruniai busyra (berita gembira, bisikan-bisikan malaikat), yang berjuang membongkar kejahatan, yang menegakkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan di bumi.
Mencapai kesempurnaan relatif dalam tingkat kerohanian seperti itu barang tentu tidak mudah. Karena itulah dalam setiap rakaat sembahyang kita ber-ihdinash shiratal mustaqim, yang merupakan puncak segala permohonan. Kita tetap saja memerlukan ma’unah alias pertolongan Allah, baik untuk mencapai maupun untuk menghindar. Sekali-kali tidaklah cukup jika perbuatan kita dilandaskan hanya pada dorongan keinginan atau emosi-emsosi yang, setidak-tidaknya dilihat dari sumber jauh di belakang, bisa timbul dari hawa nafsu hewani.
Rasulullah selalu mengingatkan betapa nafsu dapat merusakkan hubungan sesama. Untuk lingkup individual, ada sabda beliau yang berbunyi: “Yang paling kutakutkan untuk kalian adalah dua rongga (ajwafan: rongga perut dan ‘rongga lain’ pada wanita)”. Juga, “Barangsiapa memberi kepadaku jaminan mengenai apa yang ada di antara kedua rahangnya dan yang ada di antara kedua kakinya (pahanya), untuk dia aku jamin surga.”
Itu semua hanya bisa dicapai dengan jalan mengubah khuluq, atau nature, dari diri kita, melalui perkembangan rohani secara berangsur-angsur, sehingga kita memiliki siat-sifat yang bahkan, maksimalnya, mendekati sifat-sifat Ilahi. Sebuah ujar-ujaran sufi menyatakan, “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah.” Selagi kehidupan kita belum dibersihkan dari motif-motif yang rendah, kita tidak akan pernah sampai pada tingkat seperti itu. Dengan akal, pengetahuan, mungkin kita bisa menaklukkan tenaga-tenaga alam, tenaga lahir, tetapi tidak bisa menaklukkan diri sendiri atau keinginan rendah kita sendiri. Karena itu, Nabi bersabda, perang terbesar adalah perang melawan nafsu diri sendiri.
Tetapi dengan selalu memohon petunjuk Allah, kita tidak putus harap untuk mencapai jalan yang lurus itu. Tekun, tenang, dan tabah, kita percaya Allah tak akan mengecewakan harapan kita. Janji Allah selalu benar, dan Allah tidak melalaikan janji-Nya. “Dan bila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku memenuhi permohonan orang yang memohon bila ia memohon kepada-Ku. Sebab itu (sebagai syaratnya) hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku, mudah-mudahan mereka terbimbing” (Q. 2:186).
Benar, dalam perjalanan ke arah kesempurnaan akan ditemui beberapa kegagalan, meski segala cara yang baik telah diupayakan. Tapi justru karena itu doa merupakan jalan keluar, sumber ketenangan, pemberi harapan, dan pembangkit keberanian. Maka bangunlah kamu di malam hari, mengerjakan salat tahajud. Jika doa, yang bukan sekadar rangkaian kata-kata (seperti yang sering kita dengar di akhir sebuah upacara) dipanjatkan dengan jiwa yang sepenuhnya hadir, dengan segala kepolosan dan kerendahan hati, dengan menanggalkan keinginan-keinginan rendah, tetapi juga dengan sikap rida kepada pembagian dari Allah, kekuatan rohani akan membentengi kita dari segala perbuatan tercela. “Dan sebagian malam isilah dengan tahajud, sebagai ibadat tambahan bagi dirimu, mudah-mudahan Tuhanmu membangkitkanmu ke kedudukan yang terpuji.” (Q. 17:79).
Pada akhirnya, tujuan pengelolaan rohani bukanlah memelihara dan mengembangkan segala sifat positif semata untuk kehidupan batin sendiri. Dampaknya justru pada dimensi lahir: segala kebajikan, segala jasa dan amal saleh dalam lingkup sosial. Tidak semua manusia mampu menjadi apa yang dikehendakinya. Tetapi perbuatan-perbuatannya membentuk corak wataknya.