Hampir setiap hari kita memperoleh terpaan informasi dari berbagai media, baik media massa cetak, televisi, radio, maupun internet. Hampir setiap hari pula kita membaca, menyaksikan, atau mendengar berbagai berita tentang perilaku menyimpang remaja. Kasus-kasus seperti tawuran antarpelajar, narkoba, aksi kriminalitas, seks bebas, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh generasi emas itu seolah telah menjadi sajian yang tidak terlewatkan dalam setiap pemberitaan media.
Terhadap berbagai peristiwa terkait dengan perilaku remaja kita yang di luar batas kenormalan tersebut, sepatutnya kita mempertanyakan; ada apa dengan remaja kita saat ini?
Pertanyaan demikian, penting kita kemukakan seiring dengan terus bermunculannya kasus-kasus serupa di berbagai tempat di negeri ini, yang tidak saja membuat kita mengelus dada sebagai bentuk keprihatinan, tetapi sekaligus mengundang kekhawatiran lebih jauh. Yakni betapa anak-anak remaja yang bakal menjadi generasi penerus bangsa kini dihadapkan dengan perilaku yang tidak normal, tidak bermoral, dan tidak beretika.
Perilaku menyimpang yang dilakukan kalangan remaja tentu tidak muncul begitu saja. Selalu ada penyebab baik yang berasal dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Di rumah, anak biasanya tidak memperoleh kebahagiaan dan sentuhan kasih sayang orangtua, yang disebabkan oleh berbagai hal. Mulai dari terlalu sibuknya orangtua bekerja, konflik rumah tangga, bahkan karena keterbatasan hidup (baca: kemiskinan). Anak kemudian menjadi teralienasi (terasing) di dalam lingkungan rumah. Celakanya, di luar rumah, si anak juga dihadapkan oleh lingkungan yang tidak sehat. Dalam pergaulan antar sesama teman sepermainan, anak dihadapkan oleh kempleksitas pergaulan yang tidak saja bisa menimbulkan konflik dalam diri sendiri dan konflik dengan teman, tetapi juga semakin membuatnya berada dalam keterasingan.
Begitupun di sekolah. Sekolah yang seharusnya mampu menjadi orangtua kedua setelah rumah, malah menjadi tempat yang sama sekali tidak ramah bagi anak. Guru-guru tampil bak monster menakutkan karena selalu dalam posisi menang dan ingin menang, sehingga segala tindak dan perilakunya cenderung intimidatif – disadari ataupun tidak –terhadap anak dibanding memosisikan diri sebagai orangtua atau pendidik. Kurikulum sekolah juga cenderung menjadikan anak sebagai mekanis atau robot ketimbang memanusiakan anak didik.
Adanya ‘pemaksaan’ (baca; instruksi) bahwa anak-anak didik harus lulus ujian nasional (UN) dengan nilai sempurna – meskipun harus dimanipulasi dan direkayasa – ikut pula memperparah kondisi anak. Secara kejiwaan bukan saja semakin tertekan, anak-anak didik juga sekaligus mengalami dilema moral. Di satu sisi, melalui pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan mereka ‘didoktrin’ untuk selalu berlaku jujur, tapi di penghujung masa sekolah mereka dipaksa untuk mencontek sana sini dan kiri kanan agar nilai UAN-nya memenuhi target kelulusan.
Dalam kondisi yang labil demikian, si anak akan berupaya mencari jalan keluar untuk lari dari segala kepenatan dan keresahan yang selama ini dialami. Nah, dalam pencariannya itu si anak biasanya akan menemukan patron atau sahabat baru berupa bacaan, tontonan, serta media baru semacam internet. Dari beragam bacaan, tontonan, dan berbagai hiburan di internet, anak semakin terbulatkan hatinya untuk menjerumuskan diri lebih jauh dalam berbagai tindakan yang menyimpang.
Merokok, misalnya, akan dianggap sebagai perbuatan wajar karena sang ayah dan guru di sekolah juga melakukannya, ditambah dengan tebaran iklan rokok baik di media cetak maupun di media elektronik. Tawuran dianggap sebagai bagian dari gaya hidup karena koran dan televisi memberitakannya dengan gambar dan visualisasi yang jelas dan terus menerus. Maka, tidak tawuran berarti tidak jagoan. Pun dengan seks bebas, dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi berdosa karena dicontohkan oleh artis dan selebritis yang notabene dianggap sebagai public figure yang tayangannya di televisi hampir setiap hari dapat disaksikan, atau videonya dapat begitu mudah diunduh di internet. Membunuh dianggap sebagai tindakan kepahlawanan atas nama harga diri meskipun dilatarbelakangi persoalan sepele. Dalam beberapa kasus, motivasi untuk membunuh muncul karena terpengaruh oleh game online yang biasa dimainkan di warung-warung internet. Demikian seterusnya.
Dalam kondisi demikian itu, kita biasa mengatakan sebagai anak-anak atau remaja yang tidak memiliki atau telah kehilangan karakter. Akal sehat dan nuraninya terlepas karena rumah dan sekolah gagal membangun karakter dan kepribadian yang baik bagi anak. Di rumah dan di sekolah anak tak berhasil menemukan figur yang diidolakan. Sebaliknya, mereka menemukannya di jalanan (lingkungan pergaulan) dan di media. Maka, jadilah preman A dan tokoh kriminalis B sebagai orangtua dan guru mereka. Lalu artis a, b, c, atau d, yang terbiasa dengan gaya hidup dan seks bebas sebagai idola dan tokoh panutan. Demikian juga dengan facebook, youtube, atau situs yang berdomaian xxx, sebagai tempat untuk curhat dan pencarian hiburan.
Kegagalan rumah dan sekolah dalam membentuk karakter yang baik bagi anak, sejatinya lebih diakibatkan oleh tiadanya keteladanan. Orangtua dalam banyak kasus tak mampu menjadi teladan yang baik bagi anak, begitu juga guru. Padahal syarat mutlak terbangunnya karakter yang baik pada anak adalah keteladanan.
Keteladanan itu sendiri dapat diartikan sebagai perilaku yang baik yang bersandar pada etika dan moral, yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsistensi, sehingga patut untuk ditiru. Namun, umumnya yang terjadi adalah orangtua dan guru – meski kadang tidak disadari – kerap bersikap mendua; di hadapan anak atau murid seolah menjadi sosok yang alim dan suci, tapi di belakang mereka berubah menjadi sosok yang tidak konsisten dengan kata dan perbuatannya. Contoh kecil adalah mereka melarang merokok dan memberitahu bahwa merokok itu tidak sehat dan hanya menghambur-hamburkan uang, namun mereka sendiri sesungguhnya adalah perokok. Sikap dan perilaku demikian tentu tidaklah mencerminkan sebagai sebuah keteladanan. Lama-kelamaan anak akan merasa bosan, sekaligus muak terhadap sikap dan perilaku yang tidak konsisten tersebut. Mereka lalu akan mencari patron dan teladan baru meskipun yang dijadikan idolanya tidak lebih baik dari orangtua di rumah dan guru di sekolah.
Dalam konteks makro bangsa ini selalu menjadi pecundang di berbagai pergaulan di tingkat internasional. Indonesia hanya dikenal sebagai pengekspor pembantu rumah tangga terbanyak di dunia, sedangkan India mampu mempekerjakan warganya di berbagai belahan dunia sebagai profesional dengan gaji yang luar biasa besarnya. Di ranah olahraga, Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta jiwa, tak mampu memiliki kesebelasan sepakbola yang kuat dan disegani, meskipun hanya level Asia Tenggara. Jikapun ada prestasi membanggakan yang berhasil ditorehkan anak-anak bangsa, keberhasilan itu akan segera luluh oleh lebih banyak kekalahan dan kegagalan lain. Itulah, bangsa yang tidak punya karakter.
Kondisi ini bersitemali dengan ‘keriuhan dan kehebohan’ di level penyelenggaraan negara yang selalu dilanda oleh konflik elit politik karena yang dikejar adalah melulu kekuasaan, bukan bagaimana menyejahterakan bangsa. Lantas, apa lagi yang bisa didambakan dan dibanggakan oleh remaja dan anak didik kita, selain mereka pada akhirnya akan ikut meniru perilaku para elit yang tak berkarakter dan tak bermartabat itu?
Maka, hanya keteladananlah yang mampu membuat bangsa ini memiliki karakter yang baik, menjadi bangsa pemenang, bukan pecundang. Sedang, keteladanan harus dimulai dari sekarang dan dari diri sendiri.
Dr. H. Abdul Malik, M.Si. adalah pakar komunikasi. Sebelum berkarier sebagai akademisi wakil rektor Universitas Serang Raya ini pernah menjadi jurnalis antara lain di Radar Banten.