Rizki yang halal tentu hanya dapat diraih dengan cara-cara yang halal pula. Rizki Allah memang tidak datang begitu saja; harus diraih dengan usaha dan kerja keras. Jika rizki itu seret, tidak lancar, maka seorang Muslim tidak boleh putus asa, lantas mencari jalan pintas, dengan menempuh cara-cara yang haram, atau menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Seorang Muslim yang senantiasa mengharapkan ridha atau perkenan Allah dalam setiap perbuatannya, tentu saja tidak akan menempuh sesuatu dengan cara yang haram, atau yang tidak diridhai Allah.
Seperti diungkapkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bekerja. Dan orang-orang yang bekerja keras untuk mencukupi kehidupan keluarganya ini disejajarkan dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Untuk mereka Allah pun menyediakan pahala dan ampunan. Pahala yang diperolehnya sama dengan pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Sedangkan ampunan yang diperolehnya sesuai dengan sabda beliau; “Sungguh sebagian dari dosa manusia ada yang tidak diampuni dengan melakuan sholat, zakat dan haji. Tetapi dosa itu terampuni dengan sulitnya mencari penghidupan.” (H.R. Ibn Baawaih dan Thabrani). Jadi selain untuk beroleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bekerja keras juga merupakan bagian dari penebus dosa.
Maka, tidak mengherankan jika Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk segera mencari rizki begitu pagi tiba. Kita dianjurkan untuk tidak tidur kembali setelah salat subuh. Bekerja di waktu pagi, kata Nabi, akan mendatangkan keberkahan dan keberhasilan. “Bersegeralah dalam mencari rizki dan kebutuhan. Sesungguhnya bersegera itu adalah mengandung keberkahan dan kesuksesan. (H.R. Bazzar dan Ahmad). Sekali lagi, bekerja keras merupakan bagian akhlak mulia yang harus dimiliki seorang Muslim. Sebab dengan bekerja keraslah kita akan memperoleh keberhasilan dan rizki yang halal. Oleh karena itu seorang Muslim dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Seorang Muslim yang kuat lebih baik dari seorang yang Muslim yang lemah. Yang dimaksud di sini bukan bukan dalam pengertian kuat dalam beribadah, tetapi kuat secara fisik dan tangguh secara ekonomi.