Panca jiwa adalah lima prinsip dasar yang mesti tertanam dalam jiwa siapa pun yang menjadi
penghuni pondok, mulai dari kyai, guru sampai santri. Pertama, keikhlasan. Jiwa ikhlas ialah
perkara yang utama dan pertama yang mesti ada dalam diri manusia. Ikhlas mempunyai makna
yang sangat dalam, yaitu membuang unsur-unsur yang mengarah kepada kepentingan pribadi
yang dapat mengotori tujuan hidup, serta juga tujuan pendidikan dan pengajaran.
Keikhlasan memiliki makna yang sangat luas, namun bila diartikan secara verbal keikhlasan
berarti sepi ing pamrih rame ing gawe, yakni berbuat sesuatu bukan atas dasar dorongan nafsu
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu, segala perbuatan yang dilakukan sematamata bernilai ibadah Lillahi Ta’ala. Dengan demikian, jiwa ini artinya berbuat segala sesuatu
bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu. Segala pekerjaan
dilakukan dengan niat semata-mata ibadah lillâhi ta‘âlâ. Kiyai ikhlas mendidik, santri ikhlas
dididik dan mendidik diri sendiri, dan para pembantu kiyai ikhlas dalam membantu
menjalankan proses pendidikan.
Jiwa keikhlasan ini akan melahirkan sebuah iklim yang sangat kondusif, harmonis pada semua
tingkatan dari tingkatan paling atas sampai tingkatan yang paling bawah sekalipun, suasana
yang harmonis antara sosok kyai yang penuh karismatik dan disegani, para asâtîdz yang tak
pernah bosan untuk membimbing dan santri yang penuh cinta, taat dan hormat. Jiwa ini akan
melahirkan santri yang militan siap terjun berjuang di jalan Allah kapan dan di mana pun.
Kedua, kesederhanaan. Maksudnya adalah melakukan sesuatu berdasarkan keperluan bukan
keinginan. Dengan demikian kesederhanaan adalah sebuah sikap yang tidak diukur oleh
kuantitas, besar atau kecil, banyak atau sedikit, murah atau mahal. Kesederhanaan berasaskan
kepada kemampuan bukan kemauan.
Kehidupan di dalam pondok diliputi oleh suasana jiwa kesederhanaan. Sederhana tidak berarti
pasif, tidak juga berarti miskin atau melarat, karena sederhana harus disesuaikan dengan
kemampuan. Di dalam kesederhanaan terdapat nilainilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan
penguasaan dan pengendalian diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Dan dalam kehidupan
di pesantren inilah nilai-nilai kesederhanaan itu ditanamkan kepada seluruh santri. Di dalam
kesederhanaan ini terpancar jiwa be upan.
Ketiga, berdikari. Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri me rupakan prinsip dan
senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja dalam
arti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi
pondok pesantren itu sendiri lembaga pendidikan harus sanggup berdikari sehingga tidak
pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan Pada perjalanannya Pondok Pesantren
Al-Ihsan tidak kaku dan lebih mengoptimalkan kekuatan di dalam tetapi sikap berdikari juga
lebih diartikan sebagai swadaya yaitu sama-sama berpartisipasi dan sama-sama merasakan.
Sifat ini juga sangat penting untuk melahirkan jiwa-jiwa militan yang siap berjuang dan
berbakti kepada masyarakat. Bagi pondok, jiwa berdikari berarti tidak menggantungkan
kepada bantuan orang lain.
Keempat, ukhuwah. Prinsip ini bertujuan menjalin hubungan sesama manusia yang berasaskan
kepada prinsip dari ajaran Islam yang damai dan toleran. Persaudaraan dalam Islam adalah
nilai persaudaraan dengan semangat tolong menolong yang tidak melihat batas-batas tertentu,
seperti golongan, etnik bahkan agama atau keyakinan orang lain. Islam menyuruh umatnya
untuk menghormati siapa pun, bekerja sama dan bergaul tanpa memandang status sosial bahkan
keyakinannya. Hal ini tentunya sangat selaras dengan ajaran Islam sebagai agama yang
menyebarkan kedamaian universal atau rahmatan lil âlamîn.
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, dengan saling
menghormati satu sama lain, walaupun santri yang datang dan belajar berlatar daerah, suku dan
budaya. Segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan persaudaraan keagamaan.
Tidak ada lagi dinding yang dapat memisahkan antara mereka, meskipun mereka itu beasal dari
berbagai latarbelakang yang berbeda. Pada prinsipnya perbedaan tidak dijadikan sebagai faktor
perpecahan tetapi perbedaan sebagai keberkahan dari sang maha pencipta Allah SWT.
Ukhuwah ini tidak saja selama mereka di dalam pondok, melainkan juga mempengaruhi ke
arah persatuan umat dalam masyarakat ketika santri terjun ke masyarakat.
Kelima, kebebasan. Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan,
bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbgai pengaruh negatif dari luar
masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan pengasuh pondok, pemimpin pondok, pendidik
dan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan sesuai dengan nilainilai yang telah diajarkan kepada mereka di pondok. Hanya saja kebebasan ini seringkali
disalah artikan yang pada akhirnya akan menghilangkan arti dari kebebasan itu sendiri dan
berakibat hilangnya arah dan tujuan bahkan prinsip.Kebebasan harus tetap pada garis yang
benar, garis yang benar itu sendiri adalah kebebasan dalam garis-garis positif dengan penuh
tanggung jawab baik dalam kehidupan di pondok pesantren itu sendiri maupun dalam
kehidupan masyarakat.
Jiwa-jiwa yang tersebut diatas itulah yang harus harus ditanamkan dalam kehidupan santri di
pondok pesantren sebagai bekal kelak nanti terjun ke dalam kehidupan masyarakat, jiwa-jiwa
ini juga harus terus dijaga dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Sikap ini berarti
melepaskan diri dari pengaruh orang lain baik pikiran ataupun tindakan. Kebebasan bukan
dimaksudkan berbuat sesuka hati, tetapi kebebasan dalam menentukan sikap dan pendapat
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Kebebasan juga bersikap
moderat tanpa memihak, yang dibelanya adalah kebenaran sesuai dengan ajaran agama.
Selain Panca Jiwa Pondok, falsafah pendidikan Pondok Pesantren Al-Ihsan juga tertuang
dalam “Motto Pondok”. Moto Pondok Pesantren merupakan elemen penting dalam proses
pendidikan dan pengajaran di lingkungan Pondok Pesantren Al-Ihsan / Terapat empat Moto
Pondok yaitu berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan, dan berpikir bebas. Petama,
berbudi luhur. Ini adalah sifat yang harus ada dalam diri manusia terutama generasi muda.
Sifat ini sangat penting dan haruslah berada pada tingkat pertama sebelum sifat-sifat lain yang
akan dimiliki. Kedua, berbadan sehat. Sebagai calon pemimpin masyarakat, kualitas fisik
yang sehat dan kuat juga sangat penting. Akhlak yang mulia, ditambah dengan fisik yang prima
akan melahirkan insan tangguh dalam menghadapi setiap tantangan dan cobaan. Ketiga,
berpengetahuan luas. Syarat ini tentunya tidak diragukan lagi. Ia juga syarat utama yang mesti
dimiliki oleh calon pemimpin masa depan. Kesempurnaan seorang pemimpin dapat diketahui
melalui budi pekerti, badan yang sehat serta pengetahuannya yang luas. Keempat, berpikir
bebas. Kepribadian yang dibalut dengan akhlak, fisik yang sehat, ilmu yang luas harus mampu
menempatkan dirinya pada tempat yang bebas, tidak terikat kepada siapa pun. Yang dibelanya
hanyalah kebenaran untuk kemaslahatan umat.
Panca Jiwa dan Motto Pondok ini memang telah menjadi falsafah atau pandangan hidup banyak
pesantren di Tanah Air. Misanya Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren
Pabelan di Magelang, Jawa Tengah. Pembina dan Pengurus Yayasan Pendidikan Al-Ihsan
Indonesia yang menaungi Pondok Pesantren Al-Ihsan beserta pengasuh Pondok merupakan
alumni Pondok Pabelan. Meski demikian, setiap pondok pesantren tentu punya ciri khas
masing-masing. Di Al-Ihsan Anyar, misalnya, di sini santri dan para alumninya dibekali
keterampilan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang ditunjang Balai
Latihan Kerja Komunitas (BLKK). Seorang santri selain harus berbudi luhur, berpengetahhan
luas, ia dituntut memiliki keterampilan, sebagai bekal hidupnya di masyarakat.