Masyarakat seperti apakah yang mendekati ideal dalam pandangan Islam? Paling tidak, masyarakat yang islami atau gambaran ideal tentang masyarakat Islam itu akan terefleksikan dalam tiga hal. Pertama, akidah. Yakni keteguhan iman yang menghunjam dalam jiwa, perasaan, pikiran, sikap dan perilaku. Kedua, ukhuwah (solidaritas). Yaitu ikatan persaudaraan Islam yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari saling mengenal (ta’aruf), memahami (tafahim), dan saling menanggung atau mencukupi (takaaful). Ketiga, al-‘uddah (materi). Yakni bagaimana memperoleh dan memanfaatkan materi yang dimiliki. Yakni selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, juga didistribusikan untuk kepentingan umat melalui zakat, infak, sedekah, wakaf.
Adapun upaya–upaya yang harus ditempuh untuk mewujudkan masyarakat yang islami itu asalah:
- Membentuk kekuatan individu (quwwatul fardi), yang memiliki akhlak mulia, pengetahuan yang luas, kecakapan sosial dan teknikal.
- Memadukan kekuatan individu dengan kekuatan komunitas Islam (quwwatul jama’ah). Kekuatan komunitas ini terbentuk karena seorang Muslim selain dituntut untuk saling mengenal, memahami dan saling mencukupi, dia juga harus terlibat dalam kerja kolektif (al-amalul jama’iy).
- Membangun kekuatan jiwa (anfus). Kekuatan individu dan kekuatan jamaah harus dipadukan sehingga terbangun kekuatan jiwa (quwwatul anfus) pada setiap individu. Jika perpaduan antara kekuatan individu dan kekuatan komunitas ini dapat dipadukukan maka umat akan memiliki al-‘adad (kuantitas) yang dapat diandalkan.
- Membentuk kekuatan materi (quwwatul ‘uddah). Jika lembaga-lembaga seperti zaakat, infak sedekah, wakaf berjalan maka umat akan memiliki quwwatul ‘uddah (kekuatan materi) atau quwwatul mal (kekuatan harta). Yakni memiliki al-‘udad (materi, sarana, dan prasarana).
Upaya-upaya membentuk komunitas islami tersebut, atau yang disitilahkan dengan Yatakayyafu bil Islam (beradaptasi dengan Islam) akan sempurna jika “bergerak bersama Islam ( yataharraku ma’al Islam). Yakni beribadah kepada Allah semata ( ‘ibadatun lillahi wahdah), dan membuktikan keimanan dengan benar (ash-sidqu) di dalam hati (al-qalbu), lisan (al-lisan), dan amal (al-‘amal). Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah, 9: 119). Dalam firman lain disebutkan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Iman yang benar dan jujur (ash-shidqu) memang harus selalu dibuktikan dengan perbuatan atau amal saleh. Al-Hasan Al-Basri, ulama besar dari generasi tabi’in (generasi pasca sahabat), menyatakakan bahwa, “Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”
Jika iman yang benar dan jujur itu ( ash-Sidqu) tertanam benar di dalam diri kita, maka akan tumbuh quwwatul indifa’ (kekuatan motivasi) di dalam hati , quwwatut ta’sir (kekuatan pengaruh) di lisan, dan akhirnya quwwatul intaj (kekuatan produktivitas) di dalam amal. Dan dengan ash-shidqu kita pun akan memperoleh at-tashdiq (pengakuan) dari sesama. Tanpa harus diminta.