Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? [Q.S. Abasa 1-4]
Rasulullah s.a.w. tampak begitu gusar manakala datang seseorang di saat beliau tengah terlibat obrolan penting dengan para pemuka Quraisy. Kehadiran orang itu jelas begitu menganggu dan tentu saja merusak suasana yang tengah berlangsung.
Bagaimana tidak gusar. Sosok yang mengganggu obrolannya itu hanyalah orang buta bernama Ibnu Ummi Maktum. Sedangkan tetamunya adalah orang-orang terpandang, dihormati dan begitu disegani. Mereka adalah para pemimpin Quraisy macam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, Ummayyah bin Khalaf dan Ubay bin Khalaf. Apalagi yang sedang diperbincangkan adalah persoalan yang begitu penting menyangkut dakwah Rasulullah kepada mereka agar mau memeluk Islam.
Adapun tujuan Ibnu Ummi Maktum datang ke majelis tempat Nabi berbincang itu untuk meminta nasihat dan minta dibacakan ayat Al-Qur’an untuknya. “Ajarkanlah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu,” pinta orang buta itu kepada Rasulullah. Mendengar permintaan orang yang tidak diharapkan kehadirannya itu wajah Nabi pun berubah menjadi masam dan berpaling darinya. Beliau bukan hanya terganggu, tetapi juga khawatir bila para pembesar Quraisy akan merasa tidak dihormati dan balik merendahkannya, sehingga harapan mereka memeluk Islam menjadi sirna.
Sikap Rasulullah yang bermuka masam dan berpaling dari Ibnu Ummi Maktum demi menghormati para pembesar Quraisy langsung mendapat teguran dari Allah sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Allah rupanya tidak senang terhadap sikap hamba-NYA yang selama ini dikenal memiliki suri tauladan yang baik, tiba-tiba berlaku tidak empatik terhadap orang buta itu yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Peristiwa itu diabadikan dalam surat Abasa (berarti bermuka masam), yang sebagian ayatnya kita kutipkan di atas. Setelah wahyu peringatan itu turun, Rasul menjadi tersadar dan segera menyambut kehadiran Ibnu Ummi Maktum dengan muka berseri. Rasul juga mengabulkan apa yang dia minta.
Diskriminatif
Peristiwa yang telah berlalu ribuan tahun silam itu masih sangat kontekstual dengan kehidupan kita di abad ini. Setidaknya, peristiwa tersebut memberi pesan kepada kita untuk tidak bersikap diskriminatif, dan senantiasa memperlakukan siapa pun dengan baik tanpa melihat kedudukan orang itu. Sebab, dalam kehidupan sosial sehari-hari tanpa disadari kita juga kerap berlaku diskriminatif dalam memperlakukan orang. Contoh sederhana ketika kita bersikap kepada pengemis yang datang ke rumah minta belas kasihan.
Merasa tidak diharapkan kehadirannya atau dianggap mengganggu, ucapan salam dan permintaan sedekah sang pengemis kita tolak dengan nada tinggi bahkan setengah menghardik. Sepintas, sikap demikian adalah hal yang biasa dan bukan masalah besar yang harus diperbincangkan lebih lanjut. Namun, jika kita mau sedikit merenung, perilaku itu justru menunjukkan betapa kita adalah bagian dari orang yang tidak memiliki rasa empatik terhadap mereka yang hidupnya tidak seberuntung kita. Kita pun secara tidak sadar telah memosisikan mereka sebagai the other alias orang lain. Bahkan kalau mau jujur lagi, dalam banyak peristiwa interaksi yang terjadi, sikap tidak empatik itu kerap kita lakukan kepada banyak orang.
Dalam perspektif komunikasi, sikap atau cara berkomunikasi seperti itu merupakan bentuk dari komunikasi mekanis yang cenderung memosisikan lawan bicara sebagai objek, bukan subjek. Komunikasi semacam itu menempati level komunikasi terrendah, karena komunikasi yang dibangun cenderung meniadakan rasa empatik, bahkan lebih dari itu, kita sekaligus memosisikan lawan bicara (komunikan) sebagai manusia hina tak berguna. Umpatan atau sumpah serapah yang kita lontarkan kepada pengemis, adalah bukti bahwa kita memandang mereka sebagai manusia yang hina.
Level komunikasi sesungguhnya menunjukkan tentang tingkat pengetahuan, pergaulan dan kebijaksanaan seseorang. Semakin tinggi pengetahuan dan luas pergaulan seseorang, maka ia akan semakin bijak bersikap, dan itu akan tercermin dalam level komunikasinya. Tidak lagi mekanis, melainkan cenderung humanis dan sama-sama menjadi subjek hingga terjalin komunikasi dialogis dan sederajat.
Memanusiakan Manusia
Komunikasi dialogis dan sederajat tidaklah saling merugikan, tetapi justru saling menguntungkan. Obrolan yang bermanfaat seperti diskusi yang berimplikasi pada bertambahnya pengetahuan antar mereka yang terlibat di dalamnya adalah satu contoh dari bentuk komunikasi jenis ini. Begitu pula dengan tegur sapa yang sopan dengan kalimat yang lemah lembut, adalah bentuk lain dari komunikasi humanis. Singkatnya, komunikasi seperti itu merefleksikan sikap empatik yang mendekatkan sekaligus merekatkan hubungan kemanusiaan di antara mereka yang terlibat dalam interaksi.
Empati dapat dimaknai sebagai sikap terbuka, menghargai, bertenggang rasa sekaligus peduli terhadap persoalan yang dihadapi orang lain. Bentuknya bisa dengan menyimak dan mendengarkan dengan penuh perhatian yang disampaikan lawan bicara sembari menghilangkan segala prasangka yang mungkin menyelimuti pikiran kita terhadapnya. Lalu memberi respon dengan ungkapan lemah lembut, perhatian, dan tentu saja solusi jika dibutuhkan.
Berkomunikasi dengan cara yang empatik akan membawa kita pada upaya saling memanusiakan manusia (humanizing of human being), dan tentu akan berujung pada suasana kehidupan yang penuh harmoni. Melakukannya memang sulit. Perlu latihan dan pembiasaan, karena komunikasi seperti ini adalah level tertinggi yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya pengetahuan dan kebijaksanaan saja. Bahkan sekelas Nabi Muhammad saja bisa lalai dan perlu diingatkan Allah SWT.
Tapi, sebagai manusia yang ingin punya makna dan memiliki manfaat bagi manusia yang lain, berkomunikasi secara empatik adalah sebuah keniscayaan. Setidaknya kita bisa memulai dengan tidak berpaling dan bermuka masam di hadapan lawan bicara. Siapa pun dia. Wallahu a’lamu bishawwab.
Dr. H. Abdul Malik, M.Si. adalah pakar komunikasi. Sebelum berkarier sebagai akademisi wakil rektor Universitas Serang Raya ini pernah menjadi jurnalis antara lain di Radar Banten.