Bahkan dalam dakwah, ada hujan rayuan, seperti dialami Rasulullah saw. Adalah Utbah bin Rabiah, duta dari komunitas Quraisy mengumbar rayuan. Itemnya komplit: kekayaan, kekuasaan dan kedudukan. Jawabannya pihak yang dirayu, Rasulullah s.a.w. meresponnya, “Maa ji’tu bima ji’tuka bima athlubu amwalukum walasysyarofa fikum walalmulka ‘alaikum. Walakinnallaha ba’asani ilaikum rasuulan, wa-anzala ‘alayya kitaaban wa-amaroni an akuuna lakum basyiran wa nadziran. Wa intaqbalu minni ma-ji’tukum bihi fa-huwa khadhdhukum fiddun-yaa wal-akhirati wain-tarudduuhu ‘alayya ashbitu li-amrillahi hatta ya’kumullahu baini wa-bainakum (Aku tidak datang kepadamu demi mendapatkan harta kekayaan, kedudukan di sisimu, dan juga kekuasaan atasmu. Namun Allah mengutusku kepadamu sebagai Rasul, menurunkan kepadaku kitab, menitahkanku menjadi pembawa kegembiraan dan peringatan kepadamu, Jika kamu menerimanya, itu bagianmu di dunia dan akhirat. Jika kamu menolaknya, aku akan sabar sehingga Allah memberikan keputusan antara aku dan kamu).”
Dalam berdakwah mesti dititi hikmah (kebijaksanaan) dan siyasah (strategi) yang benar. Hikmah dan siyasah itu dimaksudkan sebagai sarana yang efektif sebagaimana mendekatkan materi dakwah kepada sasarannya (manusia). Tentu saja hikmah dan siyasah itu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi, asal dalam prinsipnya tidak menyimpang dari koridor prinsip kebenaran yang tercermin dari Aqidah Islamiyah.
Hikmah dan siyasah Rasulullah s.a.w. perlu dijadikan bahan kajian, bahwa target yang hendak dicapai oleh suatu aktivitas dakwah bukanlah kekayaan, kekuasaan dan kedudukan. Seandainya target suatu aktivitas dakwah bukanlah adalah kekayaan, kekuasaan dan kedudukan, niscaya tawaran Utbah bin Robiah diterimanya dengan senang hati. Justru beliau bertahan dengan prinsipnya, teguh dan kokoh, dengan kompensasi dicaci, dihina, diboikot, bahkan diusir dari negerinya, seperti diprediksikan secara dini oleh rahib Waraqah bin Naufal. Sunnahnya dakwah memang menghadapi medan yang terjal, mendaki dan curam.
Datangnya kebosanan dan kebuntuan serta kesulitan dalam berdakwah tidak harus dilakukan hikmah dan siasat menjual diri dan menjual misi dakwah dengan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan. Prinsip dakwah yang benar digambarkan oleh Nabi Sulaiman kala menolak kiriman upeti dari Ratu Bilqis yang saat itu wanita penguasa Saba’ ini hendak menguji kesungguhan atau kedustaan aktivitas dakwah Nabi Sulaiman. Ratu Bilqis berpendapat, seandainya upeti itu diterima, yakinlah ia akan kedustaan seruan kebaikan dari Nabi Sulaiman. Dengan penolakan itu bukan hanya dakwah Nabi Sulaiman mendapat simpati, malah Ratu Bilqis berikut rakyatnya berbondong-bondong menyatakan keinginannya untuk mengikuti seruan Nabi Sulaiman. Boleh jadi hal itu berkah dari kemurnian idealisme berdakwah.
Penting dalam berdakwah untuk melakukan latihan tadlhiyah (pengorbanan). Latihan berkorban untuk sabar dan teguh kala datang tawaran dan peluang, berkorban untuk disakiti dan diusir kala datang kendala dan tantangan, berkorban untuk mendahulukan orang lain, berkorban mengurangi hartanya untuk diinfaqkan, serta berbagai bentuk pengorbanan lainnya. Ihwal urgensi latihan tadlhiyah dalam berdakwah, sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq memberi nasihat kepada pahlawan Islam, Khalid bin Walid, Ikhrish ‘alal mauti tuuhab lakal hayatu (Bersemangatlah untuk mati, niscaya diberikan kepadamu hidup).
Hikmah dan siyasah dakwah yang dijalankan tidaklah demi menggapai kekuasaan, kedudukan dan kekayaan. Dalam soal ini, prinsip dakwah tetap bergantung (i’timad) kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai Al-Musabbib (penyebab utama), tidak sekali-kali bergantung kepada manusia. Namun prinsip hikmah dan siyasah dakwah ialah dalam rangka membangun, membentuk, dan melahirkan manusia (sumber daya manusia) yang layak dikader, dibina dan dibimbing (takwinur rijaal). Menumbuhkan kader-kader yang siap berkorban, siap menempa dirinya untuk teguh, ulet, dan sabar, siap untuk dicontoh, siap untuk mengerahkan segenap kemampuan, siap bederma, dan siap untuk hijrah.
Sejatinya, di sinilah nilai tugas dakwah itu. Dan itulah jawabannya mengapa Islam yang dibawa Rasulullah berkibar di seantero jagat dan tetap eksis hingga kini. Masjiid (pusat pengkaderan) beliau tidak cukup besar, hanya beralas pasir beratap pelepah kurma, namun segitunya ternyata mampu menumbuhkan ratusan ribu hero (pahlawan), berkat ketelatenan dan kedisiplinan membina kader, dan di sisi lain berkat ketak-tergiuran beliau pada tawaran kesenangan sesaat. Sebuah syair menggambarkannya, Athla’al masjidul kariimu untsa = intajathum madaarisul qur-aani. Saqalathum yadunnaniyyi fadhkhau = ghurraa-taddahri fii jabiiniz-zamani. (Masjid yang mulia memunculkan manusia-manusia. Mereka dihasilkan dari madrasah-madrasah Alquran. Mereka ditempa oleh tangan Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam. Maka jadilah mereka putih-putih berseri di kening zaman). Hikmah dan siyasah dakwah untuk menumbuhkan kader akan terus berjalan dan di sanalah prospek dakwah itu di masa-masa yang akan datang: eksis, menyebar, dan mengalami penerimaan yang cukup. Akan tetapi apabila hal ini ditinggalkan dan pada akhirnya tergiur dengan kepentingan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan, meski dengan alasan hikmah dan siyasah, yakinlah bahwa api dakwah akan suram, mundur, kalau tidak hancur berantakan. Pada saat ini, ditunggu kesediaan umat Islam bersama untuk latihan berkorban. Pengorbanan adalah tanda keseriusan dan kejujuran, dan konon terasa nikmat bila proses kerja didahului kendala dan tantangan yang mesti dijalani dengan pengorbanan. Kian banyak berkorban, kian besar buah yang dihasilkan kemudian. Sasaran dakwah kiranya masih menanti pengorbanan yang lebih besar dari umat Islam saat ini.
Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001)
Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT) Jakarta.
Dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.